Langsung ke konten utama

Pendidikan Kesadaran (4)




Woko Utoro


Ada ungkapan kematian adalah ketika kehilangan kesadaran. Ungkapan tersebut menandakan peran penting kesadaran. Jika orang tidak sadar maka tidak akan mengetahui siapa dirinya. Ungkapan lain dari para sufi yang lebih tinggi dan mendalam yaitu tidak mengerti dirinya takan mengerti tuhannya.


Kesadaran memang luar biasa. Ibarat ide, kesadaran adalah alat utama manusia berproses. Salah satu fungsi kesadaran adalah mampu membaca mana hal prioritas dan sampingan. Paling sederhana saya contohkan di sini yaitu kisah mahasiswa yang kehilangan orientasi kuliah. Awalnya saya tidak tahu mengapa bisa seseorang mengalami disorientasi utamanya dalam menyelesaikan tugas akhir.


Dulu orang-orang molor kuliah karena faktor menjadi aktivis. Mereka aktif di organisasi, rapat sana-sini, diskusi hingga melakukan aksi. Mahasiswa tipe ini jelas visi misi hidupnya terutama ketika menjadi aktivis kampus era tahun 90an. Sedangkan contoh awal yaitu mahasiswa yang datang dari pulau seberang dengan niat kuliah justru kini berbelok arah. Mereka justru terlena dengan pekerjaan yang menghasilkan uang.


Sebenarnya orientasi pada gaji dan uang tidak salah. Bisa jadi itu sikap realistis yang mereka pilih. Akan tetapi negatifnya adalah kuliah mereka terlantar. Mereka yang awalnya fokus untuk kuliah tepat waktu dan menikmati proses sebagai kaum akademik justru kini malah sebaliknya. Dari itulah mengapa orang tua berpesan untuk fokus dan tidak menggak-menggok. Lantas apa salah orang berorientasi pada uang?


Sekali lagi ini soal orientasi dan kesadaran. Soal memilih mana yang pokok atau sekadar kebutuhan sekunder. Money oriented misalnya bisa dilihat hanya dari alasan yang keluar dari mulut seseorang. Jika ada kata-kata semua hal harus diukur dengan uang maka jelas ini orientasi pada uang yang utama. Padahal tidak semua hal harus diukur dengan uang. Misalnya mengajarkan anak shalat tidak selalu diimingi uang. Karena shalat adalah kewajiban dan jangan sampai uang jadi faktor utamanya.


Mengapa orang berorientasi pada materi jelas bisa jadi soal kebutuhan. Kebutuhan menjadi dasar seseorang bertindak. Kadang tindakan tersebut tidak berarah jika tidak terkontrol. Seharusnya di sini kita bisa belajar bahwa segala sesuatu tidak diukur dengan uang. Karena konsep rezeki itu luas. Bisa jadi pertemanan, kekeluargaan, kesehatan dan kepercayaan adalah rezeki berlimpah serta sangat mungkin tidak bisa dinilai oleh uang.


Yang jelas apapun itu seharusnya orang bisa memahami mana hal yang perlu didahulukan. Untuk memahami hal itu jelas kuncinya adalah belajar. Jika hal kecil berkaitan kesadaran diabaikan maka orang bisa cenderung sekarep dewe. Yang paling mengerikan adalah kecenderungan impuls, menguasai sampai bertindak refresif demi memuluskan keinginan. Inilah yang perlu ditekan dan dimanajemen agar tidak terlewat batas. Sebab sifat dasar manusia adalah memperbudak manusia lainnya terlebih yang punya kuasa dan kekayaan.[]


the woks institute l rumah peradaban 3/6/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Mahasiswa Tidak Mencatat?

Woko Utoro Sudah berulang kali saya menemukan di mana mahasiswa jarang mencatat. Utamanya ketika presentasi makalah di ruang online catatan akan sangat sukar ditemui. Parahnya lagi fenomena itu merebak baik dalam presentasi di kelas maupun forum seminasi ilmiah. Presentasi di ruang online tak ubahnya radio butut, tak didengarkan dan dibiarkan berlalu. Saya berhusnudzon jika catatan mahasiswa beralih dari buku ke note digital dalam gawai. Tapi apakah hal itu bisa dipercaya? tentu saya meragukannya. Beberapa kali saya tidak menjumpai jika mahasiswa mencatat apa yang seharusnya mereka butuhkan. Selama ini kita bisa mengamati bahwa catatan sudah tidak dianggap penting. Akibatnya selain tidak membaca mahasiswa juga minim mencatat dan lengkaplah sudah ketertinggalan kita soal pengetahuan. Saya menduga dan semoga saja ini tidak benar. Mengapa mahasiswa tidak mencatat padahal hampir seluruh kegiatan dan pelaporan dalam tugas kuliah selalu berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tapi faktany

Catatan Makrab bersama Mahasiswa Jabo

Bang Woks* Suatu saat di sesi wawancara TV, Bang Mandra pernah ditanya satu kata untuk mewakili orang Betawi. Beliau menjawab, orang Betawi itu "ceplas-ceplos". Apa yang dikatakan Bang Mandra sebagai salah seorang seniman Betawi tentu benar adanya. Hal itu pula yang saya temui ketika hadir di acara Makrab Komunitas Mahasiswa Jabodetabek. Komunitas Mahasiswa Jabodetabek atau biasa disebut Mahasiswa Jabo didirikan sekitar tahun 2018. Di antara orang-orang sepuh yang saya kenal yaitu Bang Heru, Depta, Luthfian, Qoni dan Ohang. Merekalah yang dalam pandangan sempit saya beberapa menjadi pionir atas berdirinya komunitas tersebut. Mereka menyebut perkumpulan tersebut dengan frasa "Persodaraan". Sebuah frasa yang khas Betawi banget. Memang jika kita dengar misalnya "ettdah, buju busyet, suwe banget lu, tong mau kemane, nyak babe pergi dulu, ncing bayar dulu gopek, gue mau ke Rawa Bebek, sombong amat lu, emang banda ngkong lu, udah gile lu ya, muke lu kayak salak Conde