Langsung ke konten utama

Kehidupan itu tidak Keras, yang keras itu Lambe Tetangga


Woks

Kehidupan di manapun memang mengandung banyak hal yang perlu diselami. Di masing-masing tempat tentu berlaku tata cara dan kebiasaan yang berbeda. Perbedaan itulah yang membuat seseorang menjadi hidup dalam dua alam pilihan, antara kalah atau tetap bertahan.

Kehidupan sosial tak lain merupakan rimba yang tak jauh berbeda dari hutan. Di sana kita akan dapati berbagai macam karakter manusia. Ada tipe manusia yang saling membantu ala simbiosis mutualisme, ada juga yang tidak berpengaruh apapun baik keuntungan atau kerugian (simbiosis komensalisme), atau juga seperti benalu yang hanya mau enaknya saja (parasitisme) serta seperti macan yang menerkam.

Jika ada orang yang berkata bahwa kehidupan ini keras tentu sangkaan itu tidak salah. Anggap saja bahwa ia telah kenyang berjuang sejak masa mudanya. Atau orang yang memang sejak kecil mengalami kesusahan atau hidup dalam garis kemiskinan. Secara fakta kehidupan yang demikian sangat terasa sekali kerasnya, di mana seseorang dituntut untuk bertahan.

Sebenarnya sekeras-kerasnya kehidupan fisik tidak lebih menyakitkan ketimbang kejahatan lisan. Secara fisik seseorang lelah bisa langsung istirahat atau bolehlah diselingi dengan dipijak. Tapi jika sudah berurusan dengan kejahatan cangkem alias lambe turah, pasti sakitnya sampai ke ubun-ubun. Kita sebagai orang yang merasakanya pasti akan ingat selalu. Di sana segala macam rasa pasti akan campur aduk tak mudah dilupakan. Secara psikologis dicerca oleh omongan lebih sakit ketimbang dalam bentuk fisik. Sebab respon tubuh melalui sensorik cenderung menangkap itu dan menyimpanya dalam pikiran dan perasaan. Akhirnya ia mengendap menjadi toksin atau racun. Jika seseorang tak bisa mengelola permasalahan itu maka siap-siap saja akan berdampak pada dirinya.

Orang tua sering memberi pesan jika tetangga sudah mulai mengibaskan omonganya maka segeralah memasang tameng. Pasang kuda-kuda dan bersikaplah bodo amat. Jangan masukan ke dalam hati dan abaikan saja. Anggap semua itu adalah sarana pembelajaran. Ia akan menjelma obat yang akan menguatkan. Karena salah satu mental kuat terbentuk karena telah terbiasa melewati semua itu. Kita mungkin bisa berkaca pada perlakuan pendadaran prajurit TNI atau polisi. Di sanalah kita akan temui kolaborasi antara fisik dan mental. Jadi siapalah yang kuat dialah yang bertahan.

Sekarang tak usah risaukan semua itu. Anggap saja angin lalu. Jadikan ia sebagai motivasi bahwa kita juga mampu menggapai apa yang diinginkan. Syukurilah masih ada orang-orang seperti mereka yang sejatinya tengah membentuk mental perjuangan. Tetap teguh dalam pendirian sebab semua itu tak lain hanya badai yang sedang menguji diri kita. Perlu dicatat lagi kita pernah ingat satu pepatah "anjing menggonggong khafilah berlalu". Selamat berproses kawan, hadapi saja kapten. Lambe turah memang liar dan menyakitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...