Langsung ke konten utama

Setangkai Daun : Senarai esai-esai Kemanusiaan


Woks

Buku ini hadir atas inisiatif dari divisi literasi seni dan pengembangan (LISBANG) DEMA Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Tulungagung. Pada saat itu buku ini sengaja dibuat sebagai respon mahasiswa atas kondisi yang sedang hangat-hangatnya bersinggungan dengan isu-isu kemanusiaan. Mereka mencoba menuliskan catatan berupa komentar dan opini sebagai mahasiswa atas ketidaksetujuan mereka terutama soal intoleransi dan politik identitas yang merebak.

Lebih jauh buku ini berisi tentang catatan mahasiswa mengenai permasalahan kemanusiaan. Permasalahan tersebut meliputi kasus bullying, pendefinisian, pembatasan hak, intoleransi, radikalisme, hingga pelanggaran HAM berat. Permasalahan tersebut hadir pasca memanasnya pilpres 2014 yang mana pada saat itu praktek penghalalan segala cara dalam politik begitu kentara. Hoaks, fake news dan serangkaian berita yang mengintimidasi, menjatuhkan hampir setiap hari membanjiri kehidupan kita. Bisa dibayangkan karena beda pilihan politik sesama saudara sangat mudah untuk saling bertengkar. Belum lagi kekerasan atas dasar mayoritas masih kerap ditemukan.

Selain itu buku ini juga memaparkan berbagai macam peristiwa intoleransi di berbagai daerah yang tentu mengetuk hati nurani kita. Belum lagi konsep toleransi masih saja disalahartikan. Menurut beberapa pendapat bahwa bersinggungan dengan pemeluk agama lain hanya dalam konteks saling membantu tidak lebih. Jika hal itu berlebihan sampai masuk ke rumah ibadahnya maka hal ini menyalahi sistem yang ada. Dari salah satu pandangan itulah beberapa pro kontranya begitu terasa terutama mereka kalangan Islam garis keras. Termasuk pro kontra yang tak kunjung ada habisnya persoalan mengucapkan selamat hari raya bagi pemeluk agama-agama.

Isu yang kentara dalam buku ini yaitu tentang radikalisme. Ternyata radikalisme malah semakin masif dengan berafiliasi nya kelompok-kelompok yang menyusup melalui partai politik, organisasi Islam hingga badan organisasi yang ada di kampus. Terutama kampus-kampus umum dalam berbagai sumber telah banyak terpapar radikalisme. Sehingga beberapa kampus memberlakukan pendidikan deradikalisasi untuk menetralisir gerakan itu lebih jauh. Termasuk kita juga mengutuk serangkaian peristiwa BOM di Jakarta dan Surabaya yang tentu pelakunnya adalah orang Islam itu sendiri. Di sinilah beberapa penulis menarasikan bahwa apakah mungkin agama bisa masuk lewat jalur kekerasan. Sehingga kita membuka kembali peta pemikiran bahwa sesungguhnya agama mengajarkan kedamaian. Agama sebagai ajaran wahyu tak akan pernah salah, yang salah itu cara pandang dan tafsir manusia yang sempit.

Tak kalah pentingnya dari semua catatan dalam buku tersebut juga berisi harapan sekaligus bagaimana cara menjadi manusia yang sesungguhnya. Di sana berbagai perspektif muncul sebagai gambaran bahwa manusia itu beragam. Sehingga jika timbul perbedaan seharusnya kita paham bukan malah menghakimi. Jika pun harus memberi ajakan atau dakwah tentu harus sesuai dengan etika dan moral yang berlaku. Harapannya dari semua hal itu manusia harus saling mengerti, memahami dan menghormati atas segala hak dan kewajiban sesamanya. Sekarang kita hanya perlu bersatu di tengah negara yang majemuk ini. Karena mengamalkan Bhinneka Tunggal Ika itu harus didasari dengan ilmu rasa kemanusiaan yang tinggi. Tanpa itu semua kita hanya akan hidup dalam angan-angan kosong.

Terakhir orang lalu bertanya, apa relasi kemanusiaan dan setangkai daun dalam judul buku tersebut? jawabannya adalah bahwa setangkai daun itu adalah simbol harapan. Ia adalah daun yang sedang berproses untuk menjadi daun tua yang kokoh. Sehingga penghakiman dalam bentuk apapun tidak dibenarkan, sebab semua mahluk sedang sama-sama berproses seperti daun itu. Selanjutnya setangkai daun membawa pesan untuk jangan pernah berhenti peduli pada sesama. Masih banyak di luaran sana orang-orang yang tertindas, terpinggirkan, mereka hidup dalam lingkaran keterbatasan, kemiskinan dan keterbelakangan. Bantulah mereka semampu kita karena mereka juga sama seperti kita yaitu sesama manusia. Imam Ali pernah berkata bahwa "bantulah mereka, jika mereka berbeda persoalan agama dan keyakinan setidaknya mereka sama seperi kita sebagai manusia". Hal itu juga yang menjadi pijakan bagi Gus Dur bahwa "ada yang lebih penting dari sekedar politik yaitu kemanusiaan". Dari semua itulah kita diajak memahami dan membaca sejarah bahwa pertumpahan darah itu menyakitkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...