Woko Utoro
Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.
Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.
Mungkin ke depannya lomba kepenulisan lainya bisa lebih semarak lagi. Bukan dilihat dari banyaknya peserta tapi dari masifnya branding dan pemberitaan bahwa menulis itu tradisi penting penuh makna. Bahwa menulis itu bukan hanya tugas kaum terdidik atau yang di kantoran tapi semua elemen masyarakat terutama yang peduli pada ilmu pengetahuan. Yang tak kalah penting yaitu terkait follow up agar para esais ini terwadahi dan menjadi aset berharga untuk bersama berkarya. Sebab dengan cara itu kita terus bersambung, terhubung.
Saya tentu mengapresiasi 40 peserta yang berani mengirimkan esainya. Mengapa demikian, karena memang mengikuti lomba itu membutuhkan keberanian. Setelah berani saja belum cukup ada hasrat lain yang harus dipenuhi yaitu terus belajar, jangan putus asa dan kecewa, selalu mengevaluasi serta tidak pantang menyerah. Sebab mengikuti lomba menulis itu susah-susah gampang dan bahkan lebih sering membuat putus asa. Terlebih lagi misalnya tahu jika salah satu dewan jurinya perfeksionis.
Mungkin tipe dewan juri tersebut adalah saya. Bagi saya jika persoalan menulis adalah hal yang penting. Sehingga tidak bisa dibuat mainan. Tentu hal tersebut berdasarkan pengalaman di mana dulu saya juga pernah menjadi peserta lomba. Jadi saya tahu betul bagaimana rasanya mendapat penilaian yang tidak memuaskan. Tapi poin pentingnya bukan nilai angka, melainkan ada semangat yang terus membara, pengalaman untuk selalu mencoba dan kegigihan yang tak bisa diuangkan. Menurut saya hal demikianlah lebih bermanfaat saat kita tak lagi jadi mahasiswa.
Sekali lagi saya ucapkan terimakasih terkhusus panitia yang masih merutinkan lomba menulis esai ini. Selanjutnya saya juga mensupport kepada seluruh peserta untuk tidak mengendorkan belajarnya. Terpenting lagi teruskanlah tradisi menulis di keseharian dan bukan saat ada lomba saja. Sebab menulis harian sama dengan menjaga mental health, mengasah kemampuan berpikir dan konsisten mencintai pengetahuan. Jika mahasiswa sudah meninggalkan tradisi baca tulis lantas masihkah kita kayak disebut agent of change? Wong kita sendiri saja tidak mau berubah. []
Komentar
Posting Komentar