Woko Utoro
Saat menjelang wafat Kiai Nursalim pesan kepada Gus Baha. Jika esok jadi kiai, tolong saat ngajar dibuat gembira, yang enjoy dan ringan-ringan. Karena kasihan jika ngaji terlalu tegang, santri itu sudah susah dipaksa mencerna kajian pula. Demikianlah yang sering diutarakan Gus Baha dalam berbagai forum kajiannya.
Memang benar dan fakta di lapangan bahwa kegembiraan itu mahal harganya. Jika bukan kita sendiri yang menghadirkan maka hendak membeli ke mana. Rasanya kegembiraan itu tidak di jual di toko manapun. Lantas mengapa bukan bahagia? sederhana saja jika bahagia itu lebih dalam, jauh dan subjektif. Sedangkan dengan hanya berbagi tawa hal tersebut sudah bagian dari kegembiraan.
Nampaknya gembira itu sepele sekali. Akan tetapi jika kita amati tertawa, bercengkrama, tegur sapa, hingga berbagi cerita adalah momen yang penting. Dalam hidup itu semua diperlukan untuk menarik benang kusut. Karena tidak setiap orang beruntung hidupnya. Maka dengan tawa gembira adalah satu dari sekian jalan agar manusia lupa akan masalah. Mungkin nampak eskapisme tapi setidaknya hal itu lebih baik sebagai defense.
Hidup itu sudah begitu berat. Apalagi jika mengingat beban di rumah, sekolah hingga pekerjaan. Belum lagi kebutuhan yang makin bertambah. Rasanya hidup jauh dari rasa tenang dan damai. Lebih lagi jika melihat tingkah polah anggota DPR yang mirip taman kanak-kanak, pastinya membuat kita jengkel. Dari itulah lebih baik kita menyelamatkan diri dari kegilaan dini. Lebih baik kita menciptakan kegembiraan sendiri. Ya walaupun hanya sesaat setidaknya cukup untuk menjadi bekal bertahan hingga hari esok.
Mari kita gembira dan jangan lupa selalu ada kopi yang setia menemani kita ketika kegetiran datang dan tak mau pergi. Mari tertawa sebelum tertawa dilarang. Mari bernyanyi sebelum kita dipaksa bayar royalti.[]
the woks institute l rumah peradaban 22/8/25
Komentar
Posting Komentar