Langsung ke konten utama

Yang Salah bukan Orangnya, tapi Masa Lalunya

Woks

Kita mungkin pernah dengar istilah anak nakal atau lebih spesifik lagi perempuan atau lelaki nakal. Anggapan orang tentang nakal yaitu saat seseorang melakukan tindakan diluar ketentuan etika dan moral yang berlaku, termasuk sikap yang tidak mematuhi aturan kesopanan. Perilaku dan sikap sebagai cerminan dari aspek kognitif dan psikomotorik memang sangatlah mudah dilihat sehingga seseorang seringkali langsung melabeli orang tersebut. Misalnya ada anak yang sering mencuri dan berkelahi. Ada pemuda yang sering gonta-ganti pasangan, mengkonsumsi miras, narkotika hingga hubungan di luar nikah. Contoh tersebut tentu sangat mudah kita jumpai di dalam masyarakat. Sehingga apa yang terjadi? ya anda pasti mudah menebaknya. Mereka pasti langsung dilabeli sebagai anak yang nakal.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh anak atau remaja tidak melulu tentang dirinya. Akan tetapi bisa sangat mungkin orang tua juga akan jadi korbanya. Terutama mulut tetangga pasti akan mengatakan bahwa orang tuanya tak pandai mendidik. Sehingga jadilah anak-anak yang bragajulan (nakal) tak bisa diatur. Inilah realitas yang ada di masyarakat kita, bukan mengingatkan justru cenderung menyalahkan.

Lalu apakah salah jika nakal melabeli mereka? sebenarnya tidak salah juga akan tetapi lebih jauh mari kita cek ulang sebenarnya apa permasalahanya. Pertama kenakalan akan dilihat bagaimana pola asuh orang tua sejak masa kanak-kanak. Kita mungkin sadar bahwa masa anak-anak perkembangan pikiran dan emosional masih belum terbentuk sempurna. Maka dari respon dari sang anak lebih cenderung mengamati sekelilingnya. Jika sekelilingnya baik maka secara alamiah anak-anak akan menirunya dan sebaliknya. Kenakalan juga terjadi karena bermasalahnya kedua orang tua, misalnya mereka sering bertengkar di depan anak, membiarkan anak berbuat buruk, terlalu memanjakan anak, bahkan korban bercerainya orang tua. Persoalan itulah yang juga akan membentuk mental anak bagaimana ia akan bersikap ke depanya. 

Kedua adalah karena lingkungan. Efek dari lingkungan ini sangat besar bagi perkembangan sang anak. Oleh karena itu perilaku anak akan terbentuk sejak di mana ia dibesarkan. Karena secara alamiah lingkungan membentuk kepribadian anak. Jika tetangganya hidup dalam lingkup relijius maka potensi besar seorang anak juga akan terpengaruhi lingkungan tersebut.

Sekarang kita lupakan sejenak tentang narasi nakal. Mari kita simak penuturan cerita seorang teman padaku saat ia pernah dalam dunia gelap. Ceritanya begini, dulu ia adalah seorang yang taat beragama, apapun titah orang tuanya ia lakukan dengan sepenuh hati anggap saja itu adalah buah baktinya walau hanya sedikit. Suatu saat hidup mereka terlilit hutang sedangkan sang ayah tidak bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Akhirnya sang ibu pun ikut membantu perekonomian keluarga dengan berjualan seadanya. Hingga akhirnya uang sudah terkumpul ibu pun bisa menutupi hutang tersebut bahkan hasil tabungan beliau mampu untuk membuka usaha lainya.

Singkat cerita sang ayah berselingkuh dengan perempuan lain lalu yang menjadi korban adalah keluarganya. Hidup mereka hancur terutama ibunya dan keluarga pun berakhir dengan perceraian. Kini ibu harus menghidupi dua orang anak seorang diri. Dan saat itulah kawanku mulai bekerja membantu ibu. Pekerjaan apa saja ia lakukan demi kebutuhan di rumah. Singkatnya kini ia telah sukses walaupun saat menggapainya begitu berdarah-darah. Bahkan ia selalu ingat dosa ayahnya itu. Lebih-lebih ia ingat cemoohan tetangga yang hampir setiap hari mengarahkan kepada ibunya.

Tidak terima perlakuan itu akhirnya ia semakin kerja keras dalam bekerja. Bahkan ia rela bekerja apapun demi keluarga. Suatu saat ia mendengar kabar bahwa ayahnya telah meninggal karena serangan jantung. Ia pun biasa saja bahkan semakin melampiaskan hidupnya dengan semuanya. Ia tidak ingin nasib buruk ibunya menimpanya juga. Percuma taat beragama jika ujung-ujungnya menyakiti juga. Hingga akhirnya ia bekerja sebagai sales yang mengharuskannya berbusana seksi. Darisanalah desas-desus tetangga menghampirinya. Ada yang menyebut wanita penghiburlah, perempuan nakal, hingga perebut suami orang serta banyak lagi tuduhan lain yang tak benar kepada dirinya. Serta banyak lagi anggapan miring itu. Tapi ia juga sedikit mengakui bahwa dunia glamor serta dunia malam pernah ia jalani beberapa kali sebagai bentuk pelampiasan. Ia juga mengakui bahwa semua itu salah, tapi lagi-lagi ia seperti telah dikonstruk untuk membenci laki-laki semacam ayahnya.

Dari cerita itulah kita bisa belajar bahwa seseorang itu tidak bisa disalahkan dengan mudah. Kita bisa melihat dulu masa lalunya. Seperti apa kehidupanya. Jika apa yang kita rumorkan pun benar toh semua itu adalah pilihan hidup yang harus dijalani. Kita juga tidak memesan menjadi seperti apa. Sama juga sepertinya tidak berharap hidup dalam dunia gelap. Semua orang rasanya sama ingin hidup ideal tanpa pernah membuat resah orang lain. Tapi mau apa? inilah hidup yang sudah digariskan oleh Tuhan. Kita hamba hanya terus berproses sambil memohonkan ampunanya bahwa kita adalah mahluk yang tak sempurna.

Masa lalu biaralah masa lalu. Jika seseorang itu masih memiliki harapan terus untuk memperbaiki diri dan bertaubat mengapa juga masih terus dihakimi. Padahal orang baik punya masa lalu, orang salah juga punya masa depan. Karena semua orang berpotensi menjadi apapun termasuk ingin menjadi baik dan keluar dari stigma yang mengurung. Inilah hidup yang akan terus dijalani dengan sepenuh hati, sekalipun cobaan menghadang silih berganti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...