Langsung ke konten utama

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan


Woks

Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73)

Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penjelasan zakat melalui para ulama bahkan hingga kini dengan segenap problem yang dinamis.

Di Indonesia potensi zakat yang tergolong besar itu sampai saat ini masih belum dimaksimalkan. Potensi zakat kisaran 217 T tiap tahun baru terserap hanya 20% sekitar 6 T. Angka tersebut tentu perlu dimaksimalkan guna mencapai tujuan yaitu pemerataan dan kesejahteraan. Tanpa pengelolaan yang baik zakat tidak lebih sebagai upeti yang paling-paling mudah habis dengan budaya konsumtif tinggi. Menurut KH. Didin Hafidhuddin zakat bisa ikut mengentaskan masalah kemiskinan asalkan masyarakat mau membayar zakat melalui lembaga terpercaya, fungsinya agar dana zakat tersebut bisa dikelola dan dialokasikan secara tepat.

Indonesia sebagai penduduk hampir 85% muslim masih tergolong rendah tingkat kesadaran berzakatnya, padahal manfaat berzakat amatlah sangat besar. Pantas saja ketika masa Khilafah Abu Bakar beliau menggagas gerakan menumpas Nabi Palsu dan orang-orang yang tak mau mengeluarkan zakat. Pada saat itu bahkan hingga saat ini jika orang sadar bahwa dengan zakat kita bisa berdaya guna baik secara ekonomi maupun sosial. Sehingga permasalahan materiil tidak lagi menjadi problem utama. Justru dengan berzakat kita bisa membangun Islam yang kokoh secara ekonomi, ritual, dan spiritual.

Kita tahu bahwa kesadaran untuk menunaikan zakat selalu beriringan dengan mendirikan shalat. Di sana terdapat dua unsur yang seharusnya tidak boleh terpisahkan yaitu shaleh ritual dan sosial. Di satu sisi kita akan beribadah kepada Allah di satu sisi yang lain kita juga harus memperhatikan orang-orang dalam hal ini yang membutuhkan. Dalam konteks asbabun nuzul zakat fitrah pada saat menyongsong perayaan Idul Fitri kita diingatkan dengan segmentasi bahwa harus ada saudara-saudara kita yang juga diperhatikan. Dalam kata lain membuat bahagia orang lain secara menyeluruh. Umat Islam tidak boleh berbahagia sendiri di atas penderitaan orang lain. Di sinilah ajaran zakat sebagai dimensi yang duniawi dan ukhrawi.

Dalam buku 'Fiqih Islam Wa Adillatuhu' karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, ada hukuman di akhirat ataupun di dunia bagi orang yang tidak mau berzakat.

"...هَٰذَا مَا كَنَزْتُمْ لِأَنفُسِكُمْ فَذُوقُوا۟ مَا كُنتُمْ تَكْنِزُونَ
"...Inilah harta bendamu yang kami simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (at-Taubah 34-35).

Mengapa pula kita diperintahkan untuk berzakat. Mari kita lihat surah adz Dzariyat 19 "Dan, pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian". Sudah sangat jelas jika bukan karena hak orang miskin mungkin syariat zakat tak pernah terlahir. Maka dari itu jika kita tak mau berzakat cukuplah kisah Qorun dan Abu Tsalabah menjadi pengingat kita. Mereka adalah contoh bahwa sebanyak apapun harta yang tidak dizakati justru menjadi statis dan bahkan menenggelamkan diri sendiri.

Zakat Menjadi Sarana Terapi Jiwa

Banyak manfaat dengan kita berzakat selain membersihkan harta secara jiwa raga, zakat juga bisa membuat jiwa sehat. Berkaitan dengan itu saat ini banyak orang yang mengidap penyakit dalam, bahkan ada juga yang penyakitnya aneh-aneh. Semakin canggih ilmu kedokteran semakin canggih pula penyakitnya bahkan sulit disembuhkan.

Kita pernah mendengar anekdot jika sering sakit-sakitan jangan-jangan ada sebagian harta kita yang tercampur dengan barang haram atau masih kotor, mungkin karena cara mendapatkanya atau cara perlakuanya yang salah. Kepemilikan harta memang berkorelasi dengan kehidupan termasuk tubuh. Sebab apa yang dikonsumsi tubuh itulah yang juga tubuh rasakan. Jika hal yang baik maka respon tubuhpun akan baik begitu pula sebaliknya.

Menurut data kesehatan bahwa penyakit jantung, stroke dan darah tinggi (hipertensi) masih tergolong tinggi di Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena kikir terhadap harta. Manusia memang memiliki tabiat untuk tidak pernah puas bahkan hal itu sudah tercatat dalam hadits bahwa manusia tidak akan merasa cukup sekalipun diberi emas satu lembah. Maka tidak aneh jika al Qur'an melalui surah at Takasur mengingatkan bahwa sindrom takasur (bermegah-megahan) itu amat berbahaya.

Orang-orang yang kikir terhadap harta akan cenderung memikirkan diri sendiri. Padahal sangat jelas bahwa di antara harta kita ada 2,5 persenya milik orang lain. Maka dari itu bersedekah, zakat atau infaq merupakan cara efektif agar jiwa terasa lapang dan di jauhkan dari penyakit. Dengan demikian harta tersebut pun terus mengalami pertumbuhan (proliferasi) karena dalam Islam bersedekah artinya menambah bukan malah seperti umumnya orang semakin berkurang.

Menurut dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Muslim Indonesia, Makassar, Muh. Khidri Alwy mengutip penelitian psikolog Amerika David Klein berpendapat bahwa ketika seseorang merasa bahagia setelah memberikan zakat, tubuh akan memproduksi sel kekebalan (IgA) yang berfungsi melindungi tubuh dari bakteri dan mikroba yang sering menyerang sistem pernafasan dan pencernaan (Sarah Ervina, 2020: tempo.co).

Terkait kesehatan jiwa raga selain dengan memperbanyak silaturahmi rasul pun menyarankan untuk berzakat. Rasulullah Saw bersabda: "Bentengilah harta kalian dengan zakat, obatilah orang-orang yang sakit dari kalian dengan sedekah, siapkanlah doa untuk bala bencana." (HR Thabrani). Dengan zakat, infaq atau shadaqah (ZIS) membuat si pelakunya akan melepaskan hormon dopamin dan oksitosin sebagai efek kebahagiaan karena dapat membantu orang lain.

Saat ini kita sudah mengerti betapa pentingnya zakat bagi kehidupan. Manfaatnya tidak hanya untuk self healing tapi juga fungsi sosial lainya. Inilah Islam agama rahmat yang ajaranya penuh dengan kemaslahatan. Semua telah diatur bahkan tidak ada seujung kuku pun yang luput dalam pandangan Allah swt.

Perhatian agama sangatlah besar terhadap mereka yang hidup dalam kekurangan sebab jauh sebelum praktek saling tolong-menolong, sikap altruis, dan kepedulian muncul, kehidupan si kaya dan si miskin ibarat bumi dan langit. Selain agama, negara juga harus berperan. Di sinilah perlunya peran negara tersebut dalam mengelola dana zakat agar bisa terdistribusikan dengan tepat guna. Bisa juga dibantu dengan banyaknya lembaga filantropi serta lembaga zakat dan sosial lainya. Perlu dijelaskan juga jika ada orang tanya apa perbedaanya pajak dan zakat setidaknya jawaban Syeikh Yusuf al Qordawi dalam Fiqhuz Zakat  bisa disimak bahwa pajak adalah kewajiban mu terhadap negara sedangkan zakat adalah kewajiban mu terhadap agama.

Referensi

Al Qur'an (terj) Depag. CV Diponegoro: Bandung. 2010.
al Qordawi, Dr Yusuf, Hukum Zakat, Lintera Antar Nusa, Bogor: 1988.
Az-Zuhaili, Prof Dr Wahbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta: 1989.
El-Fikri, Syahruddin, Sejarah Ibadah, Jakarta: Republika, 2014.
Ervina, Sarah, Sedekah Memiliki Manfaat Kesehatan, Tempo.co, diakses pada 28 Oktober 2020, 13:25

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...