Langsung ke konten utama

Tentang Kursi Kosong dan Mentalitas Inlander


Woks

Beberapa hari lalu kita dikejutkan dengan aksi Najwa Shihab dalam talk shownya yang mewawancarai bangku kosong. Wawancara itu sebenarnya dimaksudkan sebagai kritik atas ketidakpernah hadirnya Terawan Putranto Mentri Kesehatan RI. Najwa menganggap bahwa kehadiran Terawan sangat penting untuk menjelaskan semua terkait wabah Covid-19 ini. Selain presiden tentu ia menjadi salah satu elit yang bertanggungjawab atas segala program dalam penyelesaian bencana ini. Seiring banyaknya kasus pengunduran diri dari berbagai Mentri Kesehatan di beberapa negara.

Tulisan ini tidak mengomentari sikap Terawan yang selalu mangkir dalam undangan tersebut atau tentang ketegasan Najwa Shihab. Tulisan ini akan menyoroti seputar bangku kosong metode Najwa berkomunikasi dengan imajinasi. Mungkin bagi beberapa orang hal itu merupakan cara yang aneh sekaligus asing dalam pandangan mereka. Sehingga akan timbul pertanyaan apa gunanya metode itu dan seberapa efektifkah pesan yang akan disampaikan kepada pemirsa. Ada juga yang menganggap bahwa cara bangku kosong ala Najwa itu merupakan bentuk penghinaan terhadap negara. Sehingga persoalan ini terus saja meruncing.

Pertama, kita akan bicara bangku kosong atau dalam metode terapi psikologi dinamakan gestalt. Metode tersebut dicetuskan oleh Kurt Lewin lewat pasienya dengan cara mengimajinasikan problem melalui bangku kosong. Seorang pasien dimintai jujur untuk mengeluarkan emosinya di depan bangku kosong tersebut. Bangku kosong itu ibarat sesosok orang yang dianggap pasien sebagai problemnya. Di sanalah pasien memperlakukan bangku kosong itu sebagai alat bantu agar ia mengeluarkan unek-uneknya.

Kedua, kursi kosong yang berkaitan dengan mentalitas. Jika kita tahu saat ada kelas atau pertemuan biasanya kursi bagian depan selalu saja kosong sedangkan orang-orang selalu saja mengisi bagian belakang terlebih dahulu. Anehnya hal itu terus terwarisi hingga saat ini dari mulai jenjang terbawah sampai perguruan tinggi. Kapan hal itu terjadi?

Hal itu terjadi sejak bangsa ini terjajah oleh kaum kolonial. Di sana terutama Belanda mempengaruhi bangsa kita untuk menjadi kaum yang terbelakang. Menjadi kaum yang selalu tidak percaya diri terhadap bangsanya sendiri, padahal bangsa ini sejak dulu sudah beradab. Era kolonial itulah mental kita terjajah bahkan bangsa sendiri pun pernah membuat pikiran rakyatnya terkonstruk, meminjam istilah orientalism Edward Said bahwa kita cenderung menguasai dan dikuasai. Zaman Orba tentu sangat kita rasakan di mana banyak stigma yang dilancarkan agar masyarakat takut, tidak kenal sejarah dan jauh dari sumber pengetahuan. Hal itu terbukti dari banyaknya sumber sejarah kita yang hilang, dihilangkan bahkan direkayasa.

Sampai kapanpun fenomena kursi kosong akan selalu mewarnai kehidupan kita. Bahkan saat ini tidak hanya soal kursi kosong tapi demokrasi melawan kotak kosong. Maka dari itu kita belajar dari sejarah bahwa menjadi beradab itu harus dimulai dengan penguasaan ilmu. Setelah itu dibuktikan dengan perbuatan. Tak boleh kalah kita harus percaya diri bahwa bangsa ini adalah bangsa yang besar jangan takut dengan bangsa lain. Kita ini unik dan bisa bersaing dengan bangsa lainya.

the woks institute l 22/11/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...