Woks
"Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan kini aku menemukan kembali bunga mawar ini"- Jalaluddin Rumi
Apa yang dikatakan Rumi itu benar adanya bahwa keindahan dan kedamaian bisa digapai lewat shalat, shalat mi'rajul mukmin. Termasuk bahwa shalat itu adalah tempat istirahat ternyamannya Nabi. Shalat adalah hadiah terindah dari Allah swt kepada manusia yang diberikan melalui Nabi Muhammad saw saat perjalanan Isra Mi'raj. Saking istimewanya, shalat menjadi kewajiban bagi umat muslim. Shalat menjadi amalan pembeda dengan agama-agama lainya. Maka dari itu kita meyakini bahwa shalat adalah wadah, tempat di mana seluruh amal-amal lain berkumpul. Jika wadahnya baik, dalam hal ini tidak bocor maka tertampunglah amal yang lain, namun sebaliknya jika wadahnya rusak maka ibadah lainya nol alias tak akan mendapatkan apa-apa.
Banyak ulama yang telah mengajarkan kita betapa pentingnya shalat. Pengajaran shalat itu selalu beriringan dengan syahadat sebagai pondasi dasar ketauhidan. Shalat sebagai dimensi syariati selalu diajarkan diawal. Saat dulu kita belajar di madrasah shalat menjadi menu utama sebelum beranjak ke pelajaran lainya. Sholat memang pondasi dasar seseorang dalam bertingkah laku. Jika diri ini baik pasti shalatnya baik dan sebaliknya. Maka dimensi shalat dengan makna hakikati adalah tercermin pada akhlaknya. Jika perilaku keseharian kita tidak mencerminkan orang shalat maka kita belum menghayatinya secara dalam. Sebab lebih jauh kita tahu bahwa shalat itu mencegah fahsya dan munkar.
Beberapakali tentu kita mendengar pula perbedaan (ikhtilaf) ulama tentang penjabaran dalam shalat seperti yang sering terjadi soal jumlah rakaat, doa qunut, tatacara duduk, baca basmalah, bersedeku, cara takbir, bacaan doa iftitah, serta banyak lagi. Akan tetapi semua itu tidak mengurangi rasa ketika kita shalat. Karena sejatinya shalat itu berdimensi luas. Dalam beberapa kesempatan Gus Baha sering menukil kalam Syeikh Abu Hasan As Syadzili bahwa tidak usah memikirkan apakah shalat kita diterima atau tidak, sudah mau bersujud kepada Allah saja sudah baik. Perbedaan itulah jangan terlalu dipermasalahkan secara serius. Selama kita berpegang pada ilmu, sanad, dan guru selama itulah kita telah punya dasar.
Gus Baha sering memberi motivasi bahwa nanti di akhir zaman bahwa kenangan terbaik selama hidup kita ialah pernah sujud kepada Allah. Kenangan itulah yang hanya didapat melalui shalat. Lanjut beliau bahwa jangan sampai meninggalkan shalat. Jangan jadikan shalat sebagai problem kita di dunia. Jika menikmati dunia bisa dengan taat mengapa kita harus memilih jalur maksiat. Justru jadikan shalat media untuk taqorrub illa Allah. Shalatlah bahwa ia sarana untuk mengingatKu, kata Allah swt.
Shalat yang lebih afdhol tentu dengan berjamaah dari pada sendiri belum tentu dapat pahala keutamanya. Sebab dengan berjamaah kita tahu seberapa kurangnya shalat kita. Jamaah adalah cara agar shalat kita sempurna. Kita ikut imam agar saat ada kesalahan bisa diperbaiki shalat tersebut. Saking pentingnya shalat berjamaah dulu ada sahabat Nabi yang rela berjalan jauh demi mencari mesjid yang belum melaksanakan shalat jamaah. Singkat cerita di akhir hidup sahabat tersebut diperlihatkan oleh malaikat pahala shalat berjamaahnya. Pahala tersebut menaunginya dan membawanya husnul khatimah.
Shalat memang ibadah yang unik, bahkan ada Wali yang tidak ingin masuk syurga jika di akhirat tidak ada shalat. Jadi betapa nikmatnya saat kita shalat lalu menghayati ibadah itu dalam sujud terakhir. Seolah-olah itu adalah sujud terakhir di dunia sebelum akhirnya berpisah menuju keharibaanNya. Nabi pun merasakan hal yang sama, bahkan saking nikmatnya shalat beliau sampai tak terasa sampai kakinya bengkak-bengkak. Sayyidina Umar bin Khattab hanya ingin dicabut pedang yang menusuk tubuhnya saat dalam keadaan shalat. Termasuk saat Sayyidina Ali dan Abbad bin Bisyr juga pernah terkena anak panah, mereka ingin dicabut saat sedang shalat. Shalah khusyuk memang telah membuyarkan semuanya dan hanya menuju satu titik dzat agung Allah swt.
Shalat sesungguhnya menyimpan dimensi kebahagiaan yang tersebunyi. Maka kita diperintah untuk terus mencarinya. Jika pun Allah tidak bisa ditemui dalam shalatmu sejatinya Allah menemukanmu sepanjang hidupmu. Semoga Allah swt berkenan menerima shalat-shalat kita yang rapuh ini.
the woks institute l 2/11/20
Komentar
Posting Komentar