Woko Utoro
Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar.
Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda.
Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dalam menanggapi potongan video?
Pertama, jika melihat video jangan sepotong. Kita harus lihat video secara utuh dan seperti apa konteks yang berlaku. Dengan begitu kita akan bersikap bijak. Dalam arti bukan memihak mana benar dan salah.
Kita juga sadar bahwa sesuatu yang masih menempel pada diri adalah hak individu. Sedangkan sesuatu yang sudah terlontar ke muka umum seperti halnya kata-kata maka akan menjadi konsumsi masyarakat. Inilah yang tentunya menjadi resiko siapapun termasuk para pesohor.
Kedua, masyarakat lupa bahwa ideologi media selalu mencari kesalahan orang terlebih terjadi pada publik figur. Media memiliki pisau tajam bernama framing. Karena media hanya berpusat pada keuntungan baik berupa rating maupun traffic kunjungan pengguna. Media tak ingin peduli bahwa semua yang menguntungkan bisa digoreng sedemikian rupa.
Ketiga, media selalu tidak adil dan memang tak pernah seimbang. Hal itu juga yang membuat netizen kita tak pernah dewasa. Media memungkinkan selalu berpihak pada sosok tertindas. Media tak akan ramah juga bagi pelaku sekalipun pasca meminta maaf. Barangkali itulah jejak digital jika terlanjur viral sulit untuk dibersihkan.
Keempat, apa yang terlontar ke media maka akan menjadi konsumsi publik. Jadi wajar saja orang biasa atau siapa saja bisa berkomentar sesuka hati. Tanpa pernah berpikir pula bahwa netizen kita lebih mudah menghujat daripada bersikap kritis sambil membuka cakrawala pikiran.
Kelima, ini bukan soal siapa yang salah. Yang jelas apa yang dilakukan Gus Miftah tentu tidak tepat. Tapi ingat rumusnya bahwa tidak ada orang suci. Setiap orang bisa salah termasuk Gus Miftah. Dulu Gus Iqdam juga pernah melakukan hal yang sama. Ning Umi Laila hingga KH Anwar Zahid juga pernah salah ucap. Bahkan Gus Muwafiq pernah berkeliling sowan ke kiai di Jawa untuk meminta maaf karena pernah salah kata ketika menyebut Kanjeng Nabi Muhammad SAW kecilnya rembes. Tidak hanya itu, Gus Baha sendiri pernah mengklarifikasi statement nya terkait Imam Az Zabidi (Pengarang Kitab Ithaf Sadah Muttaqin syarah Ihya Ulumuddin) yang dikatakan bermazhab Syiah.
Kelima, ingat bahwa menilai sesuatu harus berdasarkan ilmu bukan nafsu. Melihat sesuatu juga harus berdasarkan nilai bukan narasi like n dislike. Menilai sesuatu itu harus utuh dan seimbang. Misalnya jika orang merasakan bagaimana menjadi anak si bapak penjual es teh. Maka harus ada juga berpikir bagaimana rasanya menjadi santri yang gurunya dihujat hanya karena salah ucap.
Keenam, menanggapi sesuatu itu jangan asal jeplak. Jika kita sebagai muhibbin seharusnya bersiap jika suatu hari idola kita melakukan kesalahan. Jadi intinya mencintai itu akan selalu mengandung resiko. Termasuk resiko di mana Gus Miftah dihujani hujatan pedas oleh berbagai kalangan.
Jangan mudah untuk kecewa, apalagi sampai memboikot hanya karena seseorang sekali pernah melakukan kesalahan. Seolah kitalah yang paling benar dan membuat pintu maaf tertutup. Mencintai itu harus utuh dan holistik, jangan setengah-setengah.
Ketujuh, mengapa kita juga tak sempat berpikir. Alhamdulillah hikmah dari kasus Gus Miftah kita belajar bahwa tarkul lisan memang pekerjaan semua orang termasuk pendakwah. Termasuk juga tarkul status khususnya di media sosial yang mudah menyakiti liyan.
Jari jemari kita juga harus diajari adab ketika membuat status atau stori. Prinsipnya jangan sampai merugikan orang atau membuat orang tidak nyaman atas postingan kita. Di sinilah berlaku rumus berpikir sebelum bertindak. Saring sebelum sharing.
Kedelapan, mengapa kita juga tidak memposting Alhamdulillah hikmah si bapak penjual es digoblokan kiai ia justru dapat umroh, modal usaha dan dibangunkan rumah. Andai hal itu tidak terjadi pastinya kita tak bisa belajar sekaligus tak pernah tahu nasib seseorang. Bukankah di sana Allah SWT memperlihatkan kuasanya bahwa ada orang yang diangkat derajatnya dalam waktu semalam. Sekaligus derajat seseorang turun juga dalam waktu semalam.
Jika ditanya apakah ada orang bahagia yang kepribadiannya dihina tapi digantikan dengan umroh dan harta benda. Tentu tidak ada. Bagaimana pun juga menghinakan adalah pekerjaan salah. Digantikan dengan apapun tidak bisa membuat bubur kembali menjadi nasi. Tapi mengapa tidak berpikir berapa kali martabat kita digadai oleh selembar uang untuk memilih paslon tertentu. Bukankah itu juga aib dan dilakukan dengan bangga oleh diri kita sendiri.
Kesembilan, benar bahwa adab lebih tinggi dari ilmu. Tapi orang akan tahu adab bekerja dengan baik ya hanya lewat pintu keilmuan. Merendahkan martabat seseorang dalam hal apapun memang tidak bisa dibenarkan. Tapi problemnya kita selalu tidak adil hanya karena pelaku adalah publik figur. Mungkin jika pelaku sama halnya orang biasa pasti tak akan seheboh ini.
Kesepuluh, tidak ada orang yang benar-benar berniat berjualan agama. Semua orang hanya melakukan apa yang mereka bisa. Termasuk perintah menyampaikan risalahnya adalah tanggungjawab bersama. Maka dari itu seharusnya masyarakat sadar bahwa memahami agama jangan disandarkan hanya pada satu mulut misalnya kita sebut pendakwah lebih spesifik lagi Gus Miftah. Kita juga harusnya belajar pada guru yang jelas sanad keilmuannya.
Kita juga sebagai masyarakat harusnya belajar, membaca, menulis, diskusi. Meminta petunjuk guru dan tidak melakukan hal yang sama ketika media sosial viral. Ingat bahwa kebenaran tidak bisa divoting kata Gus Dur. Bahwa kebenaran bukan lahir dari viralitas melainkan dari alam pikiran yang telah dicerdaskan oleh bacaan dan berguru.
Kesebelas, kita sebenarnya hanya sedang berperan sesuai pos-nya masing-masing. Kebetulan dalam dakwah tersebut Gus Miftah yang berperan dan Pak Sunhaji berperan sebagai penjual es. Bagaimana jika pelaku tersebut terjadi pada diri kita. Seharusnya inilah pentingnya menghisab diri sendiri sebelum dihisabNya.
Keduabelas, ingat jangan jadi hamba amatiran yang mau diobok-obok oleh media sosial. Seharusnya kita tarik nafas, pusatkan sejenak pada pikiran, jernihkan hati, jangan langsung mengolok-olok, menyalahkan sampai menghujat. Lihat dulu duduk perkaranya. Walaupun misalnya hal itu terbukti bersalah yang jelas kita tidak berusaha mencari kesalahan. Seharusnya kita menekan ego dalam berkomentar dan lebih memusatkan diri pada pelajaran yang terkandung pada sebuah peristiwa.
Ketidakadilan kita terletak pada selalu fokus pada titik hitam alias kesalahan. Kita tak pernah fokus pada putihnya segelas susu alias bagaimana seharusnya. Dengan begitu orang akan belajar bahwa ngwongne wong, menjaga harkat martabat, tidak boleh membully, tidak mempermalukan di depan umum dll adalah tugas kita bersama.
Bahwa ini bukan soal benar salah. Juga bukan soal memihak pada siapa. Tapi soal bagaimana kita melihat fenomena di media sosial dengan lebih bijak. Sudahkah berpikir berapa kali kita selalu dipecah belah oleh media sosial dan kroni-kroninya hanya karena sok tahu dan sok merasa perlu untuk berkomentar. Tidak semua harus dikomentari. Tapi semua harusnya dipelajari.
the woks institute l rumah peradaban 6/12/24
Bapak keren👍🏼👍🏼
BalasHapusMantap
BalasHapusTerimakasih Prof
BalasHapusMasyaallah. Good job pak
BalasHapus