Woko Utoro
Sesekali aku berpikir masih adakah kesunyian tersisa dari agenda besar dunia. Peperangan, bencana alam hingga bunyi mesin, teknologi dan kebisingan konser. Rasanya tak ada yang tertinggal dari hujan kemarin. Kecuali kenangan yang sesaat menyurut.
Lelaki kecil seperti ku memang membutuhkan sepotong sunyi untuk sekadar berdiam diri. Membuka note gawai sambil berharap ada sesuatu yang dapat ditulis. Seraya berharap ada sebongkah ketenangan yang ditemukan lewat pemandangan alam. Barangkali itulah cara meditasi paling gratis dan alami.
Tapi aku lupa bahwa dunia kini tak seperti dulu. Dunia kini penuh kebisingan dan kebisuan bercampur aduk di atas ring kompetisi. Akhirnya pejuang kecil seperti ku memilih menepi sejenak untuk tidak berkata menyerah. Karena aku tahu ibu memilih melahirkan seorang penyabar daripada petarung.
Kata orang menjadi kaya, populer, tampan dan pintar itu menyenangkan. Hidup serba kecukupan dan pastinya digandrungi followers. Tapi apakah demikian? bukankah mereka juga lelah. Bukankah mereka juga butuh rehat sejenak dari incaran kamera. Apakah ada manusia yang pada akhirnya kecewa karena mereka tua di jalan. Sepertinya benar bahwa kita lahir dan besar dengan membawa ujian tersendiri untuk dipecahkan.
Hanya saja kita lupa bahwa pemecahan masalah tidak harus oleh diri sendiri. Karena terkadang diri sendiri tak kuat menahan arus deras ini. Kita membutuhkan orang lain barangkali untuk sekadar menjadi pengingat. Karena bagaimana pun juga mahluk pelupa ini butuh cambuk kecil untuk segera sadar bahwa hidup masih berlanjut.
Ada resep bahwa masalah bisa hilang sejenak dengan memandang diri sendiri. Itupun jika kita sudah kenal dengan diri yang kadang disalahpahami. Kata Rumi kita adalah alam semesta. Mengapa perlu melihat orang lain. Bukankah menjadi orang lain adalah pekerjaan paling menyebalkan. Apalagi dipaksa harus sama atas apa yang dipikirkan orang.
Maka dari itu di tengah carut marut dunia terlebih keruhnya medsos. Aku ingin membeli sunyi berapapun harganya. Bagi ku sunyi bukan sekadar sepi. Sunyi adalah satu kondisi yang diciptakan penyair agar hidup terasa nikmat. Bahkan bagi penyair segala derita, kerapuhan, ketidakberuntungan atau bahkan kegagalan adalah keindahan.
Lagi-lagi aku sadar bahwa jiwa ini tak bisa membeli apapun kecuali memetik doa sederhana. Berharap keajaiban tiba di depan daun pintu. Atau ada sesuatu yang masuk lewat pintu rekening. Tapi itu tak mungkin. Semua harus diusahakan oleh batin kita sendiri. Problematika ini tak akan ada orang yang sama dan ingin membantu.
Aku juga kadang berpikir mengapa doa seolah tak kunjung terkabul. Apakah dunia terlalu bising sehingga doa-doa mengambang di udara. Seperti cangkang telur tak bernyawa, doa-doa yang dipanjatkan lama seolah tak mau menetas. Yang lucu lagi kadang aku mendapat doa-doa tanpa nama yang tak ku kenal. Entah siapa yang mengirimkannya. Apakah dia tahu yang ku butuhkan saat ini adalah sunyi. Sunyi di mana hanya ada aku dan dia. Lalu kita saling menatap wajah dan tak terasa cocok sekali menjadi mahluk pemalu.[]
the woks institute l rumah peradaban 18/12/24
Komentar
Posting Komentar