Langsung ke konten utama

Tradisi Baca dan Tradisi Bicara




Woko Utoro 

Anda pasti tahu tradisi oral alias bicara atau ngomong lebih mudah dilakukan siapapun. Bahasa guyonannya karena mulut lebih dekat dengan otak daripada meluangkan waktu membaca yang entah di mana letaknya. Tapi berbanding terbalik dengan tradisi membaca (dalam hal ini buku) dan tidak setiap orang mampu. Kemampuan membaca buku memang lebih berat ketimbang bicara. Masalahnya adalah kini orang bicara apa saja dan apa saja dibicarakan. Tanpa pernah berpikir apa isi pembicaraan, mengandung racun atau tidak. Atau kadang bisa menimbulkan rasa sakit karena tersinggung. Semua dibicarakan dengan gurihnya.

Tradisi oral alias omong-omong begitu mudah kita jumpai di dunia medsos. Terlebih saat ini isi di medsos adalah mayoritas tukang gorengan. Coba bayangkan orang yang tidak memiliki kapasitas bicara bisa ngomong ngalor ngidul tanpa filter. Ironisnya lagi kita sebagai sami'in atau pendengar dan pemirsa percaya dengan mudahnya. Ohh iya saya lupa tapi faktanya demikian bahwa kata-kata yang diucapkan lebih mudah membius daripada kata-kata dalam tulisan. Kata yang dilafalkan dalam tradisi omon-omon memang lebih mudah menembus otak karena terdapat daya hipnotis. Sehingga kita lebih terbuai dengan apa yang dikatakan tanpa mengaktifkan daya kritis.

Lebih parah lagi netizen sangat yakin pada kebenaran yang disampaikan tokoh tertentu. Netizen lebih percaya pada mereka dengan popularitas bukan kapabilitas intelektual. Akibatnya fanatisme buta lahir di ruang maya ke ruang nyata. Ohh iya fenomena ini juga sering disebut sebagai sindrom moral virtuosi, atau kecenderungan seseorang untuk memberikan totalitas moralnya kepada tokoh, dalam kasus ini pemuka agama (Titus Yoan, 2024). Akibatnya seperti yang kita tahu orang akan membela idolanya sekalipun mereka salah.

Akibat tidak membaca dampaknya seseorang kehilangan kemampuan bertanya. Orang lebih mudah melakukan imitasi secara total tanpa pertimbangan. Sehingga ketika pembicara itu salah kita sebagai fans tidak siap. Padahal rumusnya sederhana bahwa apapun dan siapapun bisa salah terlebih mereka yang terbiasa bicara tapi dangkal bacaannya.

Jika sudah tahu demikian berarti kita sudah mampu membedakan mana yang layak diafirmasi atau dieliminasi. Indikatornya sederhana yaitu apa yang dikatakan harus sesuai dengan apa yang dibaca. Syukur-syukur kita tahu moralitasnya. Karena yang pandai bicara banyak, tapi pandai membaca sangat minim sekali.[]

the woks institute l rumah peradaban 16/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...