Langsung ke konten utama

Sampai Mana Bacaan Kita




Woko Utoro 

Ada dua momen spesial yang saya ingat setiap bulan Desember yaitu mengingat puncak hari ibu dan haul Gus Dur. Jika bicara Gus Dur kita akan bicara banyak hal tapi saya ingin lebih mengerucut yaitu tradisi membaca. Mba Inayah Wahid pernah berseloroh, "Kok Gus Dur dibuatkan patung dengan pose membaca, itu sungguh tidak otentik. Yang benar itu Gus Dur sering minta dibacakan". Tapi sebelum penglihatan beliau memburuk Gus Dur adalah pembaca ulung. Beliau menghabiskan waktu bertahun-tahun saat menjadi kepala perpustakaan Tebuireng bahkan ketika di Mesir dan Baghdad.

Yang saya ingat dari Gus Dur adalah: pertama, jangan sampai tinggalkan sehari tanpa membaca. Jadi bacalah terus, terutama membaca buku yang akan membuka peta pemikiran agar tidak sempit. Kedua, membaca dan menulis adalah dzikirnya santri. Jika kita menyebut diri santri maka tak usah berdebat siapa santri sesungguhnya ketika 22 Oktober tiba. Sederhana saja santri itu yang masih mentradisikan membaca dan menulis bahkan saat mereka sudah jadi alumni. Ketiga, jangan lupa baca sampai mati harus baca. Pesan terakhir ini menjadi cambuk dan saya selalu merinding ketika membacanya. Bagi saya benar bahwa tradisi membaca adalah petunjuk hidup dan hidup itu sendiri. Karena tanpa membaca dunia gelap dan kita tak pernah diakui keberadaanya.

Selanjutnya soal ibu. Salah satu fungsi ibu adalah melahirkan dan mendidik. Dalam konteks bacaan kita bertanya pada diri sendiri sudahkan melahirkan pengetahuan baru. Laiknya ibu apakah kita rajin membaca lalu merawatnya dengan baik. Atau justru kita abai akan pusat peradaban sederhana itu. Bukankah pendidikan itu tidak harus di bangku sekolah. Dan memang benar manusia terdidik adalah yang selalu membaca. Manusia yang selalu belajar tidak hanya dari buku tapi dengan apapun di tengah masyarakat.

Tak ada yang lebih setia dari ibu. Mendidik anak-anak dengan bahasa yang santun. Maka ibu adalah penyair yang tugasnya memperbaiki bahasa. Jika dunia ini keras dan kasar kita memang perlu meniru ibu lewat kasih dan sayangnya. Lewat cinta dan pengorbanan. Ibu menjelma buku yang tak habis kita baca. Sungguh kita memang perlu bertanya sudahkah merawat bacaan seperti halnya ibu pada anak-anaknya.

Kita juga sebenarnya perlu bertanya masihkah setia dengan membaca. Nampaknya karena kesibukan kita begitu goyah. Padahal dalam keadaan apapun membaca akan terus relevan. Terutama dewasa ini dunia seperti kehilangan sejarah dan bacaan. Orang-orang meninggalkan bacaan dan kembali ke fanatisme. Jika sudah demikian mengapa kita tidak kembali seraya mengatakan kini sudah saatnya membaca. Maukah kita dipimpin oleh orang yang tersesat yaitu mereka dengan tradisi oral lalu percaya diri mengobral kebenaran.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...