Langsung ke konten utama

Apa Yang Bisa Menyelamatkan Dari Kesepian




Woko Utoro 

Perbincangan mengenai penyakit manusia modern terus berkembang. Rerata orang fokus pada penyembuhan penyakit dalam arti fisik. Padahal luka berkaitan jiwa merupakan ciri penyakit manusia modern. Terlebih bagi pemuda kata Dr. Fahruddin Faiz, sering dihinggapi penyakit batin. Suatu kondisi yang hanya bisa dipahami secara batiniah.

Hal itu senada dengan apa yang disampaikan Joko Pinurbo alias Jokpin. Sebelum wafat Jokpin pernah berkata bahwa salah satu penyakit yang menjalar di era digital terutama menyerang anak muda adalah : sering kesepian, mudah dirundung rindu, baperan dan semakin tidak sabar terhadap waktu. Apa yang dikatakan Jokpin bukan barang baru. Sekaligus bukan problem sastrawi alias rekaan. Melainkan sudah menjadi fakta sosial yang meresahkan. Sehingga pemuda kini cenderung meleot dalam arti tidak memiliki ketahanan mental yang kuat.

Bukankah kasus bunuh diri hingga femisida terjadi karena kerentanan aspek psikologis atau kejiwaan. Aspek mental tersebut mengalami gangguan yang salah satu faktornya adalah sering menyendiri, memiliki obsesi negatif, hingga terpapar transmisi media sosial. Terutama bagi yang menjalin hubungan yang toxic hal ini perlu dihindari. Maka dari itu apa yang telah disebutkan muaranya satu yaitu perangi hawa nafsu. Tak salah jika Kanjeng Nabi Muhammad SAW berpesan bahwa esok ada peperangan besar yaitu melawan hawa nafsu. Jadi solusi bagi yang kesepian adalah hibur diri dengan menciptakan keramaian dalam kebersamaan.[]

the woks institute l rumah peradaban 25/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...