Woko Utoro
Saya telah bertanya ke banyak orang apa modal utama jika ingin melangsungkan pernikahan. Rerata menjawab soal mentalitas. Sedang lainnya menjawab soal modal materi. Tapi apapun itu mari kita uraikan bersama di mana titik poin atau alasan seseorang naik ke pelaminan.
Yang jelas selain persoalan takdir menikah itu berkaitan dengan kesiapan seseorang untuk membina bahtera rumah tangga. Sebuah aktivitas kerjasama, saling memahami, saling melengkapi, yang dilakukan dalam tempo agak lama. Bahkan menikah dianggap ibadah terlama. Menikah juga disebut dalam sejarah sebagai syariat tertua sebelum rukun Islam ada yaitu era Nabi Adam dan Sayyidah Hawa.
Kata Gus Baha jika orang niat menikah sebab ingin memperbaiki ekonomi mengapa pula perceraian juga karena alasan ekonomi. Lantas jika demikian apa yang pertama menjadi dasar seseorang melangsungkan akad di depan penghulu. Lagi-lagi jika jawabannya soal kemapanan materi atau kemolekan wajah toh tidak sedikit publik figur pernikahannya kandas di tengah jalan. Padahal secara logika mereka mapan dalam hal finansial dan bentuk tubuh.
Di sinilah menariknya jika membahas pernikahan. Terlebih dalam tradisi Jawa ada relasi kuat antara jejodoan dan bebojoan. Bagi kita orang awam menikah di Jawa itu ribet salah satunya sering berbenturan dengan adat atau tradisi yang berlaku seperti weton (tanggal kelahiran), pageblak (tanggal kematian) hingga urutan kelahiran (mbarep, tengah, tunggal, ragil) sampai arah rumah.
Menikah itu tidak bisa ditebak tapi tak harus ditakuti. Selama memiliki niatan baik yakin saja pasti jalan terbuka lebar. Hanya saja sebelum melangkah ke sana baiknya seseorang mempersiapkan diri. Terutama soal mentalitas SDM. Karena indikator kedewasaan dapat dilihat dari cara berpikir, menyikapi masalah dan berupaya mengurai masalah tersebut.
Hal yang terpenting dalam membina bahtera rumah tangga adalah soal mentalitas SDM. Karena kadang kita masih berpikir kolot tentang kaya miskin, mapan atau pengangguran. Padahal dulu mbah-mbah kita juga tak memiliki apapun. Hal yang mbah-mbah kita lakukan adalah etos kerja dan kemauan yang keras dalam bekerja. Jadi mbah-mbah dulu mencontohkan betapa berharganya proses bukan hasil.
Dalam keluarga hal terpenting adalah kendali ekonomi, mampu membedakan antara kebutuhan primer dan sekunder. Di sinilah pengertian sesungguhnya tentang kekayaan. Jadi kaya dan miskin itu soal pikiran. Hanya saja orang menitikberatkan kaya pada harta. Padahal kaya hati, moral dan etika lebih utama.
Selanjutnya tak kalah pentingnya soal SDM alias pendidikan. Titik tumpunya bukan soal tingkat pendidikan tapi lebih kepada bagaimana seseorang menghayati pendidikan sebagai fungsi aplikatif. Misalnya resep agar hidup tenang, menerima dan saling memahami yaitu dengan tawadhu. Tawadhu atau rendah hati menjadi resep utama mengapa orang tua kita dulu memiliki hubungan yang awet. Mereka telah menghilangkan egonya demi kebaikan bersama. Jadi berpikir tentang individu itu sudah hilang. Sebab mereka tahu bahwa menikah itu seni memadukan perbedaan dalam satu wadah.[]
the woks institute l rumah peradaban 21/12/24
Komentar
Posting Komentar