Woko Utoro
Saya punya kisah menarik seputar kekecewaan seorang teman mengenai kuliah. Alasan kekecewaan mereka sederhana bahwa kuliah tidak bisa menjamin kesejahteraan. Bagi mereka kuliah hanya buang-buang waktu dan formalitas belaka. Selain itu jurusan di perkuliahan juga tidak mampu melenggangkan mereka ke dunia kerja.
Dari apa yang menjadi kekecewaan teman tersebut lantas saya bertanya jika sudah tahu kecewa mengapa masih dilanjutkan. Kadang dari hal itu teman saya mungkin lupa bahwa dalam rumah tangga cinta itu nomor dua. Sedangkan yang pertama adalah mau. Faktanya banyak orang menikah karena perjodohan tapi mereka punya anak dua bahkan lebih. Padahal katanya pernikahan mereka tidak dilandasi rasa cinta. Tidak cinta kok punya anak demikian guyonannya.
Dalam keluhan teman tersebut saya merasa perlu menanggapinya. Alasannya sederhana jika tidak ditanggapi maka orang yang berpikiran serupa menjadi mayoritas dan hal itu bisa bahaya. Pertama, sebelum menyalahkan kampus dan jurusan kita seharusnya bertanya pada diri sendiri apakah kuliah kita dulu serius atau hanya main-main. Apakah saat di kelas kita pura-pura tidak tahu sehingga perkuliahan tidak berkualitas. Apakah saat di kampus kita enggan berorganisasi. Atau apakah kita tidak ingin mencoba ketika unit kegiatan mahasiswa berjalan.
Jika jawaban dari pertanyaan tersebut iya dalam makna negatif. Maka kita memang layak kecewa dan kekecewaan itu berasal dari diri sendiri. Kata Ustadz Muhammad Nuruddin, Lc., MA keberhasilan kuliah itu ada beberapa syarat di antaranya, orientasi, mindset, kompetensi dan eksplorasi.
Orientasi berkaitan dengan apa yang sudah diniatkan sejak awal. Misalnya sejak awal fokus untuk belajar tentang sesuatu dan menggali lebih dalam lagi. Maka kuliah menjadi sarana untuk menggali potensi diri. Dalam proses itu juga kita mencoba menyusun mindset bahwa kaya dan miskin berelasi dengan pikiran. Bahwa keberhasilan atau kegagalan terletak pada etos kerja individu. Bahwa kuliah, ijazah hanyalah wasilah dan selebihnya adalah usaha gigih kita sendiri.
Di sinilah kita mulai berpikir bahwa yang menentukan keberhasilan adalah kompetensi. Sedangkan kompetensi bisa diwujudkan hasil daya atau eksplorasi sejak di bangku kuliah. Misalnya kita ingin mempelajari apa dan bagaimana praktiknya. Jika kita anak bahasa tentu rajin berlatih adalah kuncinya. Jika kita anak psikologi dan sosial maka rajin menyelami problem masyarakat. Atau jika kita anak ekonomi maka lihat dan pelajari lah bagaimana cara berdagang yang baik.
Selama ini problem kita adalah berdiam diri. Kita hanya sibuk menunggu kelulusan tiba sambil berharap pada selembar ijazah. Padahal harapan mudah dapat kerja atau kesejahteraan hidup justru bertumpu pada mentalitas. Coba sejak awal kita fokus dan istikomah maka kita bisa menjadi ahli. Dengan menjadi spesialis maka orang akan mencari. Tugas kita adalah memantapkan diri pada maqom. Jika maqom kita belajar maka belajar lah apapun yang membuat dunia terbuka. Jangan sampai dunia luas ini menjadi sempit hanya karena kita tak mau mencoba.
Hidup yang gagal adalah ketika melihat orang lain. Jika melihat orang lain untuk belajar lalu kita ambil inspirasinya maka hal itu adalah modal. Akan tetapi jika hal itu hanya sekadar membuat kita iri tanpa adanya praktik sama saja akhirnya. Ingat bahwa masa depan bukan soal ilmu terpakai atau tidak. Masa depan adalah cara pandang kita untuk mempersiapkan apa dan bagaimana seharusnya. Satu-satunya hal yang patut disalahkan ketika kuliah dianggap tidak menjamin apapun adalah diri kita sendiri yang tidak mau mengeksplorasi potensi diri. Padahal diri ini kaya dan kita bisa menjadi apa saja. []
The Woks Institute rumah peradaban 24/12/24
Komentar
Posting Komentar