Langsung ke konten utama

Orang-orang Taklid dan Media Sosial




Woko Utoro 

Sebagai orang awam mengikuti petunjuk guru adalah keharusan. Terlebih dalam urusan agama kita perlu petunjuk guru. Karena lewat guru lah kita mengerti isi kitab suci. Lantas jika demikian apakah tidak boleh orang awam mencari sendiri kebenarannya?

Sebenarnya boleh saja orang awam menemukan kebenarannya sendiri. Akan tetapi pertimbangan khusus mengapa orang awam lebih disarankan mengikuti titah guru. Sebab dalam hal agama tidak boleh sembarang orang untuk mengusahakan hukum. Dalam pemahaman agama kita mengenal istilah taklid, ittiba dan ijtihad. Tiga istilah tersebut dimaknai sebagai jalan seseorang memahami agamanya.

Bagi kita orang awam sepertinya ijtihad itu teramat berat. Karena ijtihad hanya boleh dilakukan oleh orang-orang mumpuni baik dalam ilmu dan amal. Orang yang mampu dalam hal keagamaan secara mendalam lalu mengupas sesuatu secara komprehensif baik melalui kitab suci, hadits dan kalam salaf disebut mujtahid. Sepertinya di bagian ini memang bukan maqam kita. Dan maqam kita sangat cocok untuk menjadi pengikut.

Selanjutnya ittiba yaitu para pengikut yang memiliki kapasitas untuk berpikir dan menelaah. Maqam kedua ini dianggap masih di bawah level pertama. Karena orang-orang yang ittiba masih ditahap pencarian alias belajar, kritis dan belum sampai ke aspek menentukan hukum.

Sedangkan yang terakhir adalah taklid. Sederhananya taklid adalah mengikuti apa yang sudah dikatakan para guru. Akan tetapi taklid itu terbagi dua yaitu taklid buta dan taklid biasa.

Taklid biasa itu hampir mirip dengan ittiba alias mengikuti sesuatu tapi dia belajar akan hal-hal lain di luar dirinya. Dalam kata lain taklid biasa diikuti oleh orang terpelajar dan masih berproses menemukan kebenaran. Sedangkan lawannya adalah taklid buta atau pengikut dalam level fanatik. Jika tidak sesuai gurunya maka hal itu salah dan sesat.

Taklid buta adalah pengikut yang matanya tertutup dari kebenaran. Mereka menganggap bahwa kebenaran itu tunggal. Kebenaran selalu lahir dari satu mulut. Dan mereka tidak terbuka dengan asas bahwa kebenaran itu relatif. Bahwa setiap orang memiliki paham dan kebenarannya sendiri. Maka jadilah seperti yang kita ketahui di era saat ini terutama di medsos.

Medsos dan Alam Berpikir 

Di medsos seperti yang kita ketahui orang-orang taklid jumlahnya banyak sekali. Mereka kita sebut netizen dengan segala argumentasinya. Sebab netizen di medsos mudah taklid dengan tokoh-tokoh yang mereka anggap benar. Padahal di sana sudah jelas-jelas menyesatkan. 

Netizen itu mudah taklid kepada tokoh-tokoh yang jelas-jelas sering berkata kasar, caci maki, penebar kebencian hingga provokator. Tapi lagi-lagi itulah dunia medsos. Dunia yang antara kebenaran dan keburukan bercampur aduk. Kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Kita hanya bisa mengikuti mana yang populer dan viral. Sedangkan mereka yang jelas sanad ilmunya, bagaimana cara belajar dan apa kitabnya justru dijauhi.

Di medsos juga ijtihad itu sangat sulit sebab kita lebih mudah menjadi korban. Kita lebih mudah diadu domba hanya karena potongan video. Kita mudah dipecah belah karena satu kelompok terlihat paling berduit. Maka dari itu di medsos kuncinya hanya dua yaitu waras dan menahan diri.

Problemnya adalah para netizen yang mudah taklid buta itu seringnya tidak waras dan tidak mampu ngerem. Mereka masih ditekan oleh hawa nafsunya demi keuntungan. Jadi akan budi yang seharusnya menghidupkan kewarasan justru mati paling awal. Akan pikiran dan hati yang seharusnya berkesadaran justru paling tidak sabar untuk memviralkan. Di sinilah letak kesalahan kita dan ironisnya dilakukan berulang-ulang dengan kesadaran penuh.[]

the woks institute l rumah peradaban 19/12/24

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...