Woks
Seorang teman bertanya mengapa pepatah Inggris mengatakan bahwa "experience is the best teacher", pengalaman adalah guru terbaik. Bukankah kebaikan adalah sesuatu yang kita peroleh atau lebih tepatnya sesuatu yang dapat kita rasakan misalnya penghargaan dan hadiahnya. Sedangkan pengalaman hanya akan jadi tumpuan semata.
Apa yang disampaikan teman saya itu tidak sepenuhnya salah. Cuma di sana kita perlu tahu bahwa di antara keduanya terdapat korelasi yang sebenarnya kita sendiri mengerti, minimal bisa membedakan mana yang on process mana yang out put.
Kita tentu tahu bahwa dari sebuah pengalaman kecil ia bisa menjelma guru besar yang akan membimbing untuk menunjukkan jalan ke mana kita akan melangkah. Tanpa pengalaman aktivitas yang kita lakukan tidak akan bermakna, hidup jadi monoton, termakan rutinitas dan pastinya tidak mampu belajar dari yang telah lalu. Bisa jadi penghargaan itu terlahir karena serangkaian pengalaman kita dalam berbagai hal menjadi apresiasi orang lain.
Sebenarnya pengalaman dan penghargaan tidak perlu diperdebatkan sebab ia sebuah kesatuan kata yang berbeda. Pengalaman adalah proses yang telah lalu sedangkan penghargaan adalah proses apresiasi dari aktivitas sesudahnya. Perlu kita catat bahwa bisa saja orang dapat penghargaan, sebab achievement bisa dibuat, bisa diusahakan, bisa direkayasa sedang pengalaman adalah laku gerak diri kita sendiri. Lihat saja perbandingan, beberapa orang ada yang kurang berminat atau tidak puas dengan capaian prestasi yang ia dapat. Sertifikat, piala, plakat kejuaran dan segudang penghargaan justru tidak membuat orang puas. Malah bisa jadi ia hanya sekadar formalitas sebab penghargaan siapapun bisa mendapatkannya. Tapi berbeda dengan pengalaman yang sejatinya tercipta karena dorongan hati nurani. Setiap orang pasti punya pengalaman yang berbeda-beda.
Penghargaan bisa jadi penilaianya oleh manusia tapi pengalaman penilaiannya langsung oleh alam. Dalam peribahasa berbunyi "alam berkembang jadi guru". Di sinilah kita telah dapati bahwa pengalaman justru tumpuan kita dalam menggapai penghargaan tersebut. Dari pengalaman kita terus belajar tentang kemarin, hari ini dan esok. Walaupun kata Rendra kemarin dan esok adalah hari ini. Artinya kita diajak merenung, mengheningkan cipta sejenak untuk memperbaiki hari ini melalui pengalaman hari kemarin guna menyongsong hari esok agar lebih baik.
Lalu bagaimana dengan orang yang bicara pengalaman tapi dia sendiri belum melakukannya? Subjektif saya orang tipe demikian mampu bicara tanpa bukti konkret dari dirinya karena ia membaca pengalaman orang lain yang sudah terektrasi lewat teori-teori. Perlu kita tahu teori bisa jadi dua kemungkinan, pertama seseorang benar-benar riil pernah melewati serangkaian pengalaman karena misal ia penelitian, riset, observasi, wawancara dan lainya. Kedua, ia hanya sekadar angan-angan, prediksi, hipotesis, dugaan, terkaan atau hanya berimajinasi. Dari sanalah kita bisa membaca hal itu dari tanda-tanda yang ada. Misalnya kita pasti bisa membedakan antara orang pengalaman berdagang dengan hanya sekadar teori. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang berteori itu akademisi sedangkan yang pengalaman atau praktek ia adalah praktisi.
Seberapapun keinginan kita terhadap sebuah penghargaan toh tentu akan berbanding lurus dengan apa pengalaman yang pernah kita lewati. Semakin banyak pengalaman seseorang akan mampu memetakan sikap apa yang akan di ambil. Orang bisa dewasa karena banyak pengalamanya. Pengalaman terlahir tidak dari ruang hampa melainkan ruangan penuh keilmuan. Akhirnya kita akan mengakui bahwa pengalaman adalah penghargaan itu sendiri. Ia mendidik jiwa dan menapaki jalan cerita.
the woks institute l 5/11/20
Komentar
Posting Komentar