Langsung ke konten utama

Tuan Krabb, Uang dan Ajaran Zuhud

             (Sumber gambar canva.com)
Woks

Jika anda penikmat serial kartun Spongebob Squarepants tentu tak asing dengan tokoh Eugene H. Krabs atau biasa disapa tuan Krab. Ia adalah tokoh kartun dengan jenis kepiting. Ia merupakan majikan dari Spongebob dan Squidward, pemilik restoran cepat saji paling terkenal selautan yaitu Krusty Krabs. Restoran yang menyajikan Krabby Patty alias Burger itu selalu berseteru dengan saingan utamanya yaitu Seldon Plankton. Tapi bukan itu yang dibahas, melainkan perilaku dari sang pemilik restoran yaitu tuan Krabs.

Tuan Krab seperti judul tulisan ini ialah sosok yang digambarkan sebagai pecinta uang. Bahkan kecintaan kepada uang melebihi sayangnya pada anak semata wayangnya yaitu Pearl. Stephen Hillenburg sebagai pencipta tokoh kartun tersebut begitu ciamik dalam menyajikan karakter pada tokoh tuan Krab tersebut. Ia bahkan berhasil menciptakan penonton yang membuat gemas saat tuan Krab kikir terhadap karyawannya. Bahkan sering kali Spongebob dan Squidward tidak diberi upah saat bulan gajian. Sifat pelit tuan Krab itu sangat keterlaluan, ia tidak mau memberi uang satu sen pun, bahkan kepada anaknya sendiri.

Sekilas dari ilustrasi tuan Krab tersebut mengingatkan kepada kita tentang surah at-Takasur yang membawa pesan jangan hidup bermegah-megahan. Termasuk mengingatkan kita pada salah satu ajaran sufi yaitu zuhud. Di mana Abu Dzarr al Ghiffary sebagai representasi sufi awal dikalangan para sahabat. Dulu sikap zuhud merupakan kritik terhadap kondisi sosial yang semakin mencirikan kemewahan, terutama pada saat Umayyah bin Abu Sufyan berkuasa. Bahkan Abu Dzarr berpegang pada surah at Taubah ayat 34-35, sebagai seruan kembali agar hidup sederhana dan membelanjakan harta secara bijak. Pada kalangan tabi'in Hasan al Bashri juga mengkritik kondisi sosial yang sama, di mana semangat orang-orang dalam perluasan wilayah dan pengumpulan harta semakin dominan. Belum lagi ketimpangan moral terjadi di mana-mana.

Kondisi politik dan kebutuhan membuat orang berani mengambil tindakan yang tak wajar. Jika ditarik pada realita yang ada, bisa jadi para pejabat korup merupakan satu dari sekian objek yang terkena kritik itu. Bayangkan saja ada beberapa pejabat kita yang memiliki aset tanah begitu luas, belum lagi harta bergerak lainya seperti gaji, saham, dan investasi selalu membanjiri dompet. Jika ada sepuluh orang saja yang memiliki sikap seperti tuan Krab maka bangkrutlah Indonesia.

Sebagai orang awam alias ndeso tentu kita berpikir, jika ada alat ukur kepuasan, lalu seberapa puaskah mereka? sedang kekayaan mereka di mana-mana. Mobil yang dikandangkan di garasi, pabrik besar yang mencaplok lahan warga, rekening yang gendut, dan emas yang mentereng masihkah disebut kekurangan? Lalu bagaimana dengan seorang kakek tua yang berjalan tergopoh-gopoh sambil menjajakan daganganya dari pagi hingga malam hari, menunggu saat membahagiakan tiba. Pelanggan?

Uang memang bukan segalanya, namun segalanya butuh uang. Begitulah kiranya yang selalu kita dengar dari para tetangga, sehingga etika dalam mencari uang tak dihiraukan. Sosok tuan Krab menggambarkan di zaman sekarang bahwa ternyata masih ada boss sebagai pemilik perusahaan yang mem-PHK para karyawanya, belum lagi upah yang kecil selalu tak berbanding dengan apa yang mereka kerjakan. Mungkin inilah salah satu potret negeri ini. Kaya namun sejatinya miskin. Padahal para buruh harus digaji sebelum keringat mereka kering.

Pada kenyataan pahit itu tentu kita tak boleh pesimis. Zaman boleh saja berubah tapi sikap optimisme selalu di kedepankan. Ajaran Zuhud sesungguhnya menjadi alarm kepada kita untuk tidak terlalu terpaut kepada dunia secara berlebihan. Sehingga perasaan cukup harus selalu diposisikan paling terdepan. Jika hidup tak menemui rasa cukup maka rasa syukur tak akan pernah terlahir. Pada era yang lampau sesungguhnya manusia merupakan mahluk yang tak pernah merasa cukup. Maka dari itu Nabi SAW sengaja diturunkan di muka bumi ini untuk mengajari akhlak kepada manusia. Tak boleh manusia selalu hidup di bawah payung kuasa hedonis, serta mengikuti syahwat duniawi yang berlebihan. Cukup dengan hidup sederhana yang merupakan langkah awal menikmati hidup dengan penuh syukur.

Islam tidak mengajari pemeluknya untuk menjadi miskin. Justru dengan kayalah Islam dapat berkembang. Akan tetapi manusia sering lupa dan mudah untuk terjerembab pada jurang kehinaan, maka dari itu laku hidup sufi hadir sebagai corak yang mewarnai kehidupan. Dewasa ini kita sering melihat orang beragama semakin legalistik dan formal. Sehingga agama menjadi kaku dan sulit dipahami. Agama seperti menjadi musuh bagi para pemilik harta. Harus shodaqoh, zakat, haji, dan lainya. Padahal semua yang tertera dalam agama tak lain sebagai pengatur umat manusia agar hidup lurus dan menghilangkan keprimitifan diri.

Cukuplah tuan Krab sebagai simbol pengingat diri kita bahwa mencintai uang, tamak, kikir, bakhil, serakah, rakus atau bahasa apapun itu merupakan warning dalam ajaran agama. Sehingga mencari dunia sewajarnya saja. Hasan al Bashri mengingatkan bahwa "Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun, barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat pada dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat ditanggungnya".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...