Langsung ke konten utama

Seni Berdekatan dengan Perpustakaan

Woks

Sejak kuliah saya berhasrat untuk memiliki perpustakaan pribadi di rumah. Tentu hasrat itu karena didasari kecintaan saya pada dunia baca tulis. Alhamdulillah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, beberapa uang dikumpulkan lalu dapatlah buku. Selama duduk di bangku kuliah itulah hingga kini koleksi di rak buku saya semakin bertambah. Sehingga saya tidak usah bingung untuk memilih buku bacaan apa yang akan dibaca. Sekarang hampir semua sudut kamar berisi buku bacaan bahkan berjajar pula bersama rak televisi di ruang tamu.

Permasalahannya saat saya menjadi guru semua kegiatan membaca dan menulis itu malah menurun. Alasannya sederhana yaitu karena ketiadaan waktu luang sebab harus disambi dengan kerja yang lain dan sedikit malas karena kelelahan pasca aktivitas kerja. Sehingga selama waktu berjalan perpustakaan pribadi itu hanya menjadi pajangan sehari-hari, bahkan sampai usang dan berdebu.

Saat virus Covid-19 mewabah ke seluruh dunia termasuk Indonesia saat itulah pemerintah memberlakukan untuk memindahkan kegiatan belajar siswa di rumah salah satunya dengan memanfaatkan media online. Pemberlakuan social distancing, work from home dan juga tetap menjaga kebersihan diri juga turut mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Akan tetapi seperti kata pepatah bahwa di balik musibah pasti terselip hikmah. Sejak status Covid-19 naik menjadi siaga darurat tentu tingkat kewaspadaan menjadi awas. Termasuk kegiatan sehari-hari menjadi terbatas dan setiap orang diharapkan untuk stay at home demi menghindari dari semakin bertambahnya korban.

Selama hampir dua pekan lebih itulah waktu saya manfaatkan untuk lebih berdekatan dengan perpustakaan. Selain membersihkan rak buku tersebut tentu saya juga membaca buku-buku yang telah lama tidak saya buka. Membaca buku tersebut menjadi penting untuk menunjang literatur yang saya gunakan untuk menulis. Karena kegiatan literasi tersebut tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas membaca dan menulis. Apalagi saya seorang guru inklusi, maka membaca buku-buku terkait anak berkebutuhan khusus (ABK) sangatlah penting sebagai modal pengembangan teoritis aplikatif.

Bagi saya memanfaatkan waktu luang saat genting seperti saat ini adalah sebuah keharusan, karena waktu luang amatlah mahal harganya. Sebab berapa banyak orang yang belum bisa memanfaatkan waktu luangnya. Membaca dan menulis merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan waktu luang itu. Kegiatan tersebut tentu sangat bermanfaat bagi kita yaitu dapat menambah pengetahuan, mengeluarkan toxin dalam diri, menghindari dari penyakit alzheimer dan tak mudah stres serta bisa menjadi sarana hiburan.

Hal itulah yang menjadikan saya untuk lebih menghargai hidup, menghargai waktu, dan tetap ikhtiyar di tengah wabah Covid-19 ini. Termasuk ada sebuah adagium yang berbunyi, "jika mampu membeli buku maka mampu juga membeli waktu untuk membacanya", mungkin saat inilah waktunya saya bisa lebih dekat dengan keluarga dan perpustakaan pribadi ini. Cepat sembuh dunia, kita main lagi ya.


Woko Utoro, S. Ag
Kepatihan Kedungwaru Tulungagung
Guru Inklusi SDI Al Azhaar Kedungwaru

*Tulisan ini pernah dimuat di koran Jawa Pos Radar Tulungagung, edisi Senin 30 Maret 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...