Langsung ke konten utama

Bolehkah Menjadi Kaya

             (Sumber gambar canva.com)
Woks

Beberapa waktu lalu saya mendapat sebuah pertanyaan yang menarik untuk dikupas. Saat orang-orang ramai berdiskusi kata-kata itu muncul, "Orang Cina punya rumah dan mobil mewah lima, motor sports dua dan pabrik di mana-mana, sedang tetangga diam saja, tapi saat kiai punya satu hektar sawah, satu buah mobil dan beberapa ekor sapi hampir semua tetangga ngerasani (bergosip). Kata mereka pasti kiai itu memelihara prewangan baik berupa khadam jin atau jimat lainya. Kata-kata itulah yang menyebabkan saya lalu bertanya apa salahnya dan bolehkah kita kaya?

Di mata tetangga atau masyarakat pada umumnya menjadi kaya secara mendadak merupakan hal yang tak wajar. Jika mereka tidak mengetahui bagaimana prosesnya, maka masyarakat mudah melabeli orang dengan tak lazim. Lebih-lebih kaya melalui praktek nyupang (pemujaan), ngepet, atau pesugihan sangat mudah sekali dibongkar kedoknya oleh masyarakat. Tidak peduli ia agamawan, kuliahan, lebih lagi orang kecil biasa seperti petani atau pedagang kaki lima. Kekayaan memang selalu mengandung stigma negatif di masyarakat, padahal tak sedikit juga ada orang kaya namun dermawan.

Kekayaan memang tidak melulu soal harta, karena ia akan berarti sempit. Kekayaan bisa jadi merujuk pada pemikiran dan bagaimana cara seseorang bersikap. Sikap inilah yang di sebut syukur, yaitu sebuah cara untuk menerima kenikmatan sekecil mungkin. Orang juga berarti miskin saat ia berhenti bersyukur alias tak pernah merasa puas. Kaitanya dengan harta tentu salah satu cara menggapainya ialah dengan bekerja. Bekerja merupakan upaya realistis untuk memutar roda kehidupan. Bekerja juga merupakan titah Tuhan. Tanpa bekerja dunia menjadi hampa.

Para orang tua mungkin harus memikirkan bagaimana agar dapur terus berkebul. Anak remaja pun terus berpikir bagaimana agar dompet tak lagi bersuara, perut tak terus berdemo. Tak mungkin untuk menggerakkan roda kehidupan kita terus khusyu di dalam sebuah rubath dzikir. Kita ini manusia biasa yang seringnya menjauh dari Tuhan dan dekat hanya saat terkena musibah. Kita bukan Siti Maryam yang di mihrabnya terdapat makanan yang konon turun dari langit. Kita juga bukan pemuda pemulia ibu di zaman Nabi Sulaiman yang hidup di dalam cangkang besar di dasar samudera, yang sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Kita hanya manusia realistis, yang bekerja untuk mempertahankan kehidupan. Toh pada hakikatnya jika dengan niat baik, bekerja pun ternilai ibadah.

Lalu apakah ada orang yang tidak bekerja? Jika iya pun rasanya tak pas. Terutama bagi seorang lelaki, bekerja adalah sebuah jatidiri. Bekerja juga sebuah cara untuk mempertahankan kehidupan. Ia tidak memandang status atau apapun itu. Yang jelas hampir semua orang bekerja walau tanpa diketahui jenis apa pekerjaanya. Siapa bilang kalangan ulama sufi tidak bekerja? Justru banyak kalangan sufi yang juga bekerja. Sebab ajaran Islam tidak mengajarkan hanya sekedar berangan-angan. Islam merupakan agama yang memerintahkan pemeluknya untuk lebih banyak bekerja bukan sekedar berwacana. Termasuk banyak kerja dari pada banyak bicara merupakan pondasi dasar dalam etika pergaulan.

Ambil contoh, Syeikh Abu Hasan as Syadzili beliau merupakan sorang sufi kaya raya. Bayangkan saja setiap hari pakainya selalu ganti dengan yang indah dan bagus. Belum lagi harum semerbak parfumnya selalu menunjukan keagunganya. Akan tetapi beliau punya cara bagaimana kekayaan tidak membuatnya terlena. Justru kemiskinanlah yang membuat "hubbud dunya". Karena ia akan selalu berharap kapan waktu memiliki harta seperti layaknya orang kaya. Imam Ali Karramallahu Wajhah juga pernah mengingatkan bahwa kefaqiran akan mudah mendekat pada kekufuran.

Jika dengan cara yang baik, mencarinya dengan cara halal dan untuk tujuan kebaikan menjadi kaya adalah keharusan. Karena jayanya Islam salah satunya karena tangan-tangan orang kaya. Sebenarnya dengan jumlah yang mayoritas Islam belum sepenuhnya dikatakan kaya, karena sikap perjuangnya belum dikatakan bersatu. Islam masih terpecah belah, sehingga kekuatan itu belum tercapai sempurna. Andai saja orang kaya seperti Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Usman bin Affan dan para sahabat kaya itu masih ada di zaman ini pastilah mereka akan memberikan kekayaannya untuk kepentingan Islam. Seharusnya kita tidak boleh sentimen terhadap saudara sesama muslim yang kaya. Justru kita mengambil contoh dari mereka agar terus bermanfaat bagi orang lain dengan hartanya.

Setidaknya jika pun kita tak sempat menjadi kaya secara materil minimal kita kaya secara ilmu. Karena kekayaan sejati adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat merupakan salah satu amal yang tak akan terputus sekalipun si pemilik telah tiada. Jadi untuk mengurai pertanyaan seperti pada judul apakah boleh kaya? tentu jawabanya adalah boleh. Asalkan kekayaan itu tak lain sebagai sarana menuju Allah swt.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...