Langsung ke konten utama

Perempuan : Tuhan Puisi Muka Bumi

Woks 

Aku sempat berpikir, apakah engkau Tuhan di muka bumi? 
Sebab aku tak mau berhenti untuk memuji engkau

Engkau adalah nelayan
Menebar jala asmara, 
memancing senyum dan menyemai benih kerinduan

Tuhan jika aku buta dengan memandang orang lain tapi, jangan kau butakan aku untuk memandang dia

Perempuan adalah mawar yang ditanam di tanah yang berduri, sedang laki-laki rela memetiknya walau harus berdarah-darah

Aku datang untuk mencinta, 
aku pergi untuk merindu, 
aku datang dan pergi untuk kekasih

Srigading, 13 Februari 2020

Sajak Tanpa Alasan

Bagaimana bisa aku melupakanmu sedang engkau adalah memori yang terpatri di alam pikiranku

Bagaimana mungkin aku melupakanmu sedang engkau adalah rasa yang tiap hari aku teguk

Bagaimana bisa aku melupakanmu sedang engkau adalah nyanyian yang selalu aku dendangkan

Bagaimana mungkin aku melupakanmu sedangkan engkau adalah suara yang selalu berkumandang

Bagaimana bisa aku melupakan engkau sedangkan ku lihat nama mu bersanding dalam nama ku di lauh mahfudz

Bagaimana mungkin aku melupakanmu sedang saat akan terbaring tidur langit rumah menjelma gambarmu

Bagaimana bisa aku melupakanmu sedangkan tanda jemari manismu ada di mana-mana

Bagaimana mungkin aku melupakanmu sedang namamu selalu ku sebut sepanjang hidupku

Sepertinya memang tak ada alasan untuk aku melupakanmu

Memori, akhir Oktober 19

Hikayat Buah Quldi

Buah quldi turun ke bumi
melahirkan daging, 
perempuan,
dan larangan

Kepatihan, 13 Februari 2020

Perempuan Akhir Zaman

Cuci piring 
di pinggir sungai
buaya-buaya berkeliaran
cuci mata 
di pinggir jalan
perempuan-perempuan berkeliaran

Warkop Kopiah Ireng, 13/2/20

Ayat Asmara

Bacalah 
dengan menyebut nama Kekasih
yang selalu 
kau lupakan

Srigading, tempo hari


Lelaki Nakal

Tuhan menitipkan angin
di bibir para lelaki 
agar mereka bersiul 
pada perempuan
Mendengungkan suara surgawi

Bilik Jendela, 13/2/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...