Langsung ke konten utama

Bangga Menjadi Umatnya Allah SWT

             (Sumber gambar canva.com)
Woks

Islam sebagai agama yang dibangun dari pondasi tauhid (ketuhanan) telah banyak melahirkan tipologi pemikiran yang bervariatif. Sistem kepercayaan yang melahirkan keyakinan kepada Tuhan pada masing-masing orang tentu akan berbeda. Perbedaan tersebut paling mudah dijumpai pada saat seseorang terkena musibah atau cobaan hidup. Bisa jadi sistem imun seseorang lemah tapi sistem keimananya kuat atau sebaliknya keimananya kuat tapi sistem imun tubuhnya melemah. Seperti saat ini dunia menghadapi wabah virus corona (covid-19). Apakah mereka semakin iman atau malah semakin hilang imanya.

Keresahan karena kehidupan serba kekurangan salah satu hal yang paling kentara pada setiap orang. Perihal kekurangan itulah kadang seseorang tidak berdaya dalam menghadapi kondisi ini. Sehingga seringkali jalan pintas ditempuh guna memuluskan segala cara. Sikap demikian sering terjadi pada minoritas orang termasuk umat beragama. Salah satu faktornya karena dzat Tuhan sebagai ar razaq (sang pemberi rizki) tidak disifati dengan baik. Seolah-olah rizki itu terbatas oleh golongan tertentu saja lebih-lebih hanya berupa uang. Padahal rizki itu teramat luas macamnya, jadi jangan khawatir kita tidak kebagian rezekinya. Kata Mahatma Gandhi seharusnya orang yang meyakini kepercayaan kepada Tuhan itu malu jika masih mengkhawatirkan sesuatu. Bagi Gandhi Tuhan adalah maha segalanya.

Seperti yang pernah diutarakan Gus Baha bahwa rizki Allah itu sudah tersistematis. Jadi tak usah khawatir kita akan kekurangan. Ia diibaratkan seperti batu yang dipecah menjadi 7 dan di sana ada hewan kecil, itu tanda bahwa rizki sudah diatur. Bayangkan saja ada hewan kecil di dalam batu, lalu bagaimana cara memberi makanya? Tentu Allah lebih mengetahui tentang rizki hambanya.

Secara psikologis manusia memang memiliki kecenderungan untuk cemas dalam menghadapi realitas. Apalagi kehidupan yang tidak didasari ilmu begitu nampak keras. Sehingga nalar kritis sering tidak berfungsi bahkan rasa bersyukur selalu berbenturan dengan ego rasional. Seharusnya dalam memandang agama seseorang diperlukan rasionalitas yang jernih. Jadi secara rasional agama tidak dimaknai sesuatu yang njlimet (sukar) dipahami. Jika agama dipahami sebagai sebuah sistem nilai yang mengatur semua hal tentu Allah dzat yang maha pemberi itu akan dimaknai sebagai maha pemurah kepada siapa saja.

Manusia memang sering merasa iri, terutama soal pemberian rizki terhadap sesamanya. Terutama kepada yang non-muslim sering sekali dibandingkan persoalan ketidakmerataan Allah dalam memberikan rizki. Anggapan itulah menjadi faktor yang mudah menggoyahkan keimanan seseorang. Padahal semua hal dalam kehidupan ini telah diatur. Sekuat apapun mentalitas dalam mencari harta, toh iya telah tercatat juga. Seperti halnya Islam, ia adalah agama dengan dimensi yang tak pernah kosong. Artinya semua sirkulasi hidup ini ada yang mengatur, pun termasuk persoalan rizki.

Seharusnya kita harus bangga karena ada Tuhan yang mengatur kehidupan sejak tidur sampai tidur lagi. Ia bahkan telah mencukupi kebutuhan kita sesuai dengan kadarnya. Bagi orang yang pandai bersyukur Allah tidak selalu dipandang sebagai yang kuasa, kejam, menghukum, akan tetapi ia juga welas-asih, adil dan penghampun. Bahkan rahmatNya melebihi kemurkaanNya.

Kita telah dipilih menjadi umat terbaik, menjadi umat Nabi Muhammad saw. Hal itu saja merupakan kenikmatan yang besar, belum lagi kita ditakdir pernah bersujud, pernah mengagungkan namaNya, pernah memuji nabiNya dan tentunya masih banyak lagi jalan-jalan kebaikan yang telah Dia tunjukan. Hari ini dan seterusnya kita hanya terus memperbaiki diri bagaimana terus menjadi umat terbaik yang diamanatkan Tuhan menebar kebaikan di muka bumi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 II

Woko Utoro Dalam setiap perlombaan apapun itu pasti ada komentar atau catatan khusus dari dewan juri. Tak terkecuali dalam perlombaan menulis dan catatan tersebut dalam rangka merawat kembali motivasi, memberi support dan mendorong untuk belajar serta jangan berpuas diri.  Adapun catatan dalam perlombaan esai Milad Formasik 14 ini yaitu : Secara global tulisan mayoritas peserta itu sudah bagus. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Terutama soal ketentuan yang ditetapkan oleh panitia. Rerata peserta mungkin lupa atau saking exited nya sampai ada beberapa yang typo atau kurang memperhatikan tanda baca, paragraf yang gemuk, penggunaan rujukan yang kurang tepat dll. Ada yang menggunakan doble rujukan sama seperti ibid dan op. cit dll.  Ada juga yang setiap paragrafnya langsung berisi "dapat diambil kesimpulan". Kata-kata kesimpulan lebih baik dihindari kecuali menjadi bagian akhir tulisan. Selanjutnya ada juga yang antar paragraf nya kurang sinkron. Se...

Catatan Lomba Esai Milad Formasik ke-14 I

Woko Utoro Senang dan bahagia saya kembali diminta menjadi juri dalam perlombaan esai. Kebetulan lomba esai tersebut dalam rangka menyambut Milad Formasik ke-14 tahun. Waktu memang bergulir begitu cepat tapi inovasi, kreasi dan produktivitas harus juga dilestarikan. Maka lomba esai ini merupakan tradisi akademik yang perlu terus dijaga nyala apinya.  Perasaan senang saya tentu ada banyak hal yang melatarbelakangi. Setidaknya selain jumlah peserta yang makin meningkat juga tak kalah kerennya tulisan mereka begitu progresif. Saya tentu antusias untuk menilainya walaupun disergap kebingungan karena terlalu banyak tulisan yang bagus. Setidaknya hal tersebut membuat dahaga ekspektasi saya terobati. Karena dulu saat saya masih kuliah mencari esais itu tidak mudah. Dulu para esais mengikuti lomba masih terhitung jari bahkan membuat acara lomba esai saja belum bisa terlaksana. Baru di era ini kegiatan lomba esai terselenggara dengan baik.  Mungkin ke depannya lomba kepenul...