Langsung ke konten utama

Obrolan Seputar Gerak Juang Literasi


Woks

Kopi mengepul hangatnya memeluk jiwa. Perdiskusianpun tiba dan kami pun saling menyapa. Malam itu warkop seketika berhenti sejenak mendengar diskusi kami yang syahdu. Membahas tentang buku, baca, sosial dan rindu. Semua bermuara pada suka, cinta dan kebermanfaatan. Di sinilah awal mula kisah bersuara.

Bambu Pena begitulah nama sebuah paguyuban yang bergerak dalam bidang literasi, baca buku, diskusi dan sosial. Paguyuban bercorak edukasi dengan perpustakaan jalanan ini diinisiasi oleh para pemuda Haurgeulis terutama mereka yang menjajakan kaki ke kota Marmer untuk kuliah. Singkat cerita semua berjalan dengan kesederhanaan dan tentunya gegap gempita bahkan hingga saat ini.

Membaca dan mencintai buku adalah ruh dari pergerakan paguyuban ini. Dengan modal semangat anak muda mereka mencoba merangkul peserta dari golongan anak hingga remaja. Jangan malu dengan buku merupakan tagline yang mereka bawa untuk menjadi roda yang mendorong pergerakan literasi itu secara masif. Hingga hampir satu tahun perjalanan wadah ini kini mulai dikenal masyarakat.

Melalui logo yang tersemat dengan tulisan "Bambu Pena" mereka berjalan penuh gairah, termasuk simbol bambu kuning di tengahnya sebagai bagian dari zona admistrasi kecamatan Haurgeulis dan juga buku sebagai kajian utamanya. Pergerakan mereka memang riil yaitu mengedukasi, merangkul dan mencerahkan. Tanpa memperdulikan aral merintang mereka tetap melaju dengan pasti. Hal itu pula tersemat melalui gerakan kaos sebagai peta identitas sekaligus kampanye bahwa dengan membaca buku kita bisa memperkaya ilmu. Tidak hanya itu dari membaca kita juga bisa bersaudara.

Setelah itu jalan sunyi lainya ialah menulis. Cara inilah yang membuat kita berdaya termasuk mampu mengabadikan sejarah. Tanpa menulis dunia terasa asing dan tak dikenal. Sehingga dari wadah inilah harapan besarnya para penulis lahir. Minimal mereka akan menarasikan kehidupan sekitarnya. Dengan menulis kita menjadi tahu seberapa besarnya kekurangan kita. Tanpa menulis kita hanya sekadar berkata lalu hilang di makan usia. Tapi dengan menulis semua abadi.

Gerak Juang Mencerahkan

Wadah ini seperti yang saya duga akan mudah melesat sebab pengkaderan yang inklusif membuat anggotanya nyaman. Di satu sisi mereka melihat betapa daerah sekitar sangat besar potensinya untuk diajak kerjasama dan saling support demi tercapainya impian membangun peradaban. Dari jalan kita merangkak dari jalan pula kita bergerak.

Pergerakan mereka cenderung merangkul semua kalangan tanpa dipaksa. Mereka berjalan apa adanya melalui media buku, diskusi, musik, sastra dan seni. Dari sana kita bisa melihat betapa open minded nya masyarakat untuk mengenal dan mengikuti kegiatannya. Sangat disayangkan jika wadah ini tidak dirawat karena dengan makin banyaknya komunitas yang bergerak sesuai tujuanya setidaknya mereka perlu tau bahwa kebersamaan lebih indah dari hanya sendiri.

Mereka yakin bahwa melalui jalur literasi ini kita mampu memberi kontribusi bagi daerah setempat walau nilainya belum maksimal. Setidaknya arah gerak untuk mencerahkan masyarakat demi hidupnya budaya literat sudah selangkah lebih maju. Saat ini tinggal bagaimana memperjelas visi misi tanpa perlu diformalisasi dan saling dukung satu sama lain.

Kemampuan Merangkul itu Penting

Ibarat menanam kita tidak ujug-ujug langsung memanen. Akan tetapi perlu adanya proses dan serangkaian jalan yang harus dilalui. Begitulah salah satu fungsi membaca dan menulis, ia bagaikan menanam jagung yang tumbuh sejak biji hingga panen. Literasi secara umum pun demikian perlu proses menanam, merawat, memupuk, menyiyangi, membesarkan, hingga akhirnya panen. Semua butuh kesabaran terutama soal mengajak orang lain.

Ajakan itu tentu harus fleksibel dan luwes tidak kaku. Agar mereka mau datang dengan sendirinya. Seperti hidayah, literasi pun sama sebelum pintu hati terketuk mereka tidak akan berdiri berjalan. Tapi jika hati telah lapang dan terbuka kita bisa menjamin militansi akan tercipta sendiri. Masalah merangkul dan kaderisasi memang perlu adaptasi dan transformasi. Sehingga kita bergerak dengan kreatif bukan politis.

Seperti para guru psikologis telah menyarankan bahwa rangkulah mereka dengan cara yang sesuai dengan keadaannya. Jangan kaku atau dipaksa. Karena setiap orang unik dan berbeda maka rangkulah mereka dengan apa yang disuka. Jika hal ini bisa terjadi maka wadah ini akan mencipta kolaborasi.

Terakhir, sebagai sebuah refleksi kita perlu mengingat baik-baik bahwa siapapun tidak boleh menjegal orang dalam berkarya. Biarkan mereka berproses dengan arah geraknya. Kita hanya sekadar memberi motivasi dan dukungan agar anak muda bisa berjalan dengan caranya. Ingat bahwa kecintaan pada sesuatu tidak bisa diarahkan apalagi dipaksakan. Semua berjalan alamiah saja karena disesuaikan dengan apa yang dicinta.

Menghilangkan kecintaan berarti membunuh secara perlahan. Kita tahu cara ini adalah politik orde baru yang menyengsarakan. Kita pasti tahu orang aktif dan enerjik seperti Bung Karno harus pergi dengan cara yang tragis yaitu dengan menjauhkanya dari istri, dari diskusi dan dari buku. Hal itu jiga yang terjadi pada Bung Hatta, AH Nasution dan lainya. Mereka pergi diincar, mereka ke mana di pantau bahkan dicekal. Paling jauh mereka diberi jabatan menjadi duta besar di luar negeri agar mereka jauh dan bisa dikontrol.

Di sinilah tantangan kita dalam berorganisasi atau berkomunitas. Esok cengkraman media atau melalui tangan politisi akan masuk dengan dalih memberi support atau bantuan. Kita harus lebih berhati-hati bahwa kebaikan tidak selalu dianggap baik bagi mereka yang merasa tersaingi. Kita perlu strategi agar semua berjalan dengan sebagaimana mestinya. Semoga Tuhan memberi kekuatan dan kemudahnya. Hanya mereka yang ikhlas akan perubahan yang mampu menjawab tantangan zaman.

Waktu pun semakin malam sedangkan kepul asap kopi telah menghilang mendahului kami dari rasa kantuk. Akhirnya kami pun menyudahi diskusi lalu pergi menuju pertapaan untuk tidur dan bermimpi bahwa esok dunia kita akan cerah secerah laskar pelangi.

#Membaca keabadian mengukir pengabdian.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...