Langsung ke konten utama

Shalat Sebagai Parameter Kehidupan




Woko Utoro

Dalam pengajian Tafsir Jalalain, Abah memberi pesan kepada semua santri untuk menjaga shalat. Kata beliau selama di pondok jangan sampai kalah dengan nafsu untuk tidak mendirikan shalat. Bahkan beliau menyindir santri yang tidak bangun shalat shubuh padahal jumlah motor mereka banyak. Kata Abah motornya banyak tapi saat shubuh tiba santri yang shalat hanya beberapa saja.

Pesan mengenai shalat tentu sudah tidak asing. Hampir semua kiai atau sesepuh sering memberi pesan ini. Memang sejak awal disyariatkannya shalat sudah nampak istimewa. Karena shalat diperintah langsung oleh Allah lewat Nabi Muhammad SAW melalui perjalanan Isra Mi'raj. Sehingga wajar jika shalat menjadi perihal utama pesan moral spiritual pada para santri.

Shalat adalah pendulum di mana kebaikan dan keburukan seseorang bisa diukur. Ukuran tersebut menjadi dasar di mana manusia bisa ditata. Salah satu guru kami bahkan menempatkan shalat seperti seorang psikolog. Beliau berkata bahwa jika ada orang memiliki problem sebesar apapun jika ia masih shalat maka akan mudah untuk menegakkan intervensi hingga diagnosa. Sebab melalui shalat cahaya ketuhanan merasuk dan memberikan energi positif agar seseorang kuat menghadapi problem kehidupan.

Abah juga menjelaskan bahwa lewat shalat aktivitas kehidupan akan dilancarkan. Tentu hal itu berdasarkan dampak mengapa orang harus menegakkan shalat. Dalam konteks mahasiswa tentu kelancaran membuat tugas kuliah bisa diukur juga lewat shalat. Bagaimanapun juga shalat mendidik manusia untuk menjadi disiplin. Karena jika tidak dibiasakan sejak dini maka shalat kita bisa tercecer dan hal itu berdampak pada kehidupan.

Demikianlah sederhananya bahwa shalat itu sangat penting. Shalat adalah salah satu alat komunikasi efektif antara hamba dan Tuhan. Kata Rumi, sujud badan kita akan mendekatkan jiwa kepada Tuhan. Jadi jika seseorang tidak shalat sesungguhnya ia tengah merugi di mana pertalian dengan Tuhan terputus. Para penyair juga sering memberi keterangan bahwa sujudnya hamba ke tanah tapi bisikanya terdengar ke langit. Maka shalat itu bukan ibadah dunia tapi ibadah akhirat.[]

the woks institute l rumah peradaban 22/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...