Langsung ke konten utama

Kemerdekaan Atas Diri Sendiri




Woko Utoro

78 tahun usia bangsa Indonesia sejak dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Usia yang tentunya semakin menua. Walaupun ingatan akan perjuangan dan warisan harus terus diremajakan. Maka dalam setiap peringatan kemerdekaan tersebut setidaknya 2 hal yang dapat kita petik untuk ditanam, menolak lupa akan sejarah. Pertama adalah mengingat akan rekam jejak sejarah dan kedua bersyukur atas nikmat menjadi bangsa berdaulat.

Kedaulatan sebuah bangsa memang harus dijiwai dengan penuh penghayatan. Karena bagaimana pun juga tugas kita saat ini adalah mengisi kemerdekaan. Setelah lama para pendiri bangsa keluar dari cengkraman kolonialisme. Salah satu isi sekaligus tujuan kemerdekaan adalah menjadi manusia Pancasila. Manusia Pancasila tentu berkaitan dengan sikap individu atau lebih tepatnya kualitas sumberdaya manusia.

Menurut Sastrapratedja, manusia Pancasila ditandai dengan: kemampuan untuk menghargai perbedaan, membawa diri secara manusiawi dan santun, mencintai tanah airnya, bersikap demokratis, serta bersikap adil dan solider. Kemampuan itulah yang merujuk pada apa yang disebut diri merdeka, berdaulat. Maka dari itu sebelum bicara bangsa dalam tataran luas bicaralah mengenai diri sendiri. Apakah kita telah merdeka atau justru terkurung dalam penjajahan egositik, hedonisme.

Mengapa kemerdekaan harus dikembalikan pada diri sendiri. Tak lain bahwa untuk membangun sebuah bangsa maka karakter luhur adalah pondasinya. Jika pondasi sebuah negara kuat maka bangunan pun kokoh dan tidak mudah dipecah belah. Hal itu diungkapkan oleh Presiden Jokowi pada pidato laporan kinerja lembaga-lembaga negara di sidang tahunan dalam rangka menyambut Kemerdekaan RI ke-78. Beliau mengatakan dengan banyaknya hinaan, cacian dan umpatan yang dialamatkan padanya seolah bangsa ini telah kehilangan karakter luhurnya. Sehingga asas demokrasi yang disepakati sejak lama justru mengalami distorsi akut. Inilah yang beliau sebut sebagai fenomena polusi kebudayaan.

Oleh karena itu perbaikan terhadap diri sendiri tak kalah pentingnya. Karena dalam bait lagu Kebangsaan Indonesia Raya, WR Supratman menuliskan jika suatu bangsa ingin melesat maju yang harus dibangun dimulai dari jiwanya setelah itu badannya, "Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia raya. Karena jiwa adalah esensi sedangkan badan adalah materi. Jika materi ingin awet maka perbaiki dulu esensinya dan hal itulah ruh utama untuk hidup. Jika ruh telah pergi maka segagah apapun jasad ia telah mati.

Emha Ainun Najib membahasakan kemerdekaan atas diri sendiri sebagai manusia berdaulat. Artinya bahwa sebelum bicara kemerdekaan temukanlah diri kita dulu. Karena bagaimana akan membangun bangsa jika diri sebagai negara terkecil sudah dikuasai gerombolan nafsu. Maka dari itu menemukan diri sendiri tak kalah pentingnya dalam rangka ikut serta membangun negara. 

Ibarat kata pemuda hari ini pemimpin hari esok. Negara hari esok bahan bakarnya adalah pemuda hari ini. Maka Si Burung Merak WS Rendra mengingatkan tentang pikiran kemarin dan hari esok adalah sekarang. Jadi, jelaslah bahwa kemerdekaan adalah soal sikap. Soal apa yang telah kita berikan. Sudahkah bertanya apa yang telah dipersembahkan buat negara?

Bagi para sufi kebahagiaan sejati salah satunya adalah tentang memberikan sesuatu. Dalam konteks pecinta maka ia akan mempersembahkan sesuatu pada yang dicintainya. Jika ditarik untuk sebuah negara maka sebagai warga kita harus bersikap adil, menghargai perbedaan, memanusiakan manusia, menjadi pribadi santun, bersikap demokratis, kerjasama dan pastinya mencintai tanah airnya.[]

Dirgahayu Republik Indonesia ke-78. 
"Terus Melaju Untuk Indonesia Maju"

the woks institute l rumah peradaban 17/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...