Langsung ke konten utama

Merapal Kualitas Pendidikan Tinggi





Woks

Pada acara yudisium FUAD beberapa waktu lalu Prof Arief Maftukhin mengatakan hal unik yaitu "momen wisuda wajib disyukuri tapi haram dibanggakan". Pernyataan dengan nada guyonan tersebut memang benar adanya. Karena bagaimana pun juga segala sesuatu pencapaian adalah terletak pada rasa syukurnya. Setinggi apapun pencapaian jika tak ada rasa syukur maka tak bernilai.

Selanjutnya kata guru besar UIN SUKA yang berasal dari Wonodadi Blitar tersebut bahwa wisuda tak boleh dibanggakan jika masih S-1. Dalam bahasa guyonan beliau "haram" dengan alasan itu bukan capaian puncak. Jika sudah mencapai guru besar barulah boleh bangga. Intinya beliau menegaskan bahwa kebanggaan bukan pada posisi yang digapai tapi pada proses yang dijalani secara terus menerus. Bahkan beliau sampai di titik tersebut masih terus belajar tiada henti. Karena tak ada ruginya orang yang dalam hidupnya digunakan untuk belajar.

Apa yang dikatakan Prof Arif Maftukhin tersebut senada dengan apa yang disampaikan Prof Nur Syam saat yudisium pasca sarjana UIN SATU. Guru besar UINSA tersebut menyebutkan dalam Data Box Buka Data Co bahwa jumlah sarjana di Indonesia terbilang masih minim. Ada sekitar 61271 orang doktor, 855735 magister dan 1281571 sarjana S-1. Negara kita masih di angka 6% dalam sektor pendidikan sedangkan negara maju rerata di angka 30%. Angka 6% dari populasi sekitar 200 juta lebih penduduk Indonesia tentu sangatlah kecil dan bisa masuk kategori terbelakang. Nah dari jumlah tersebut tentu masih kategori belum bisa dibanggakan.

Kondisi pendidikan kita hari ini memang mencemaskan. Saya pernah diskusi ringan bersama Prof Mujamil Qomar setidaknya ada 2 alasan mengapa pendidikan kita semakin memprihatinkan. Pertama, karena kualitas pendidik dan mahasiswa sangatlah menurun. Bahkan tugas pengabdian dosen yang seharusnya dikerjakan dengan serius sebagai laporan kepada pemerintah justru dikerjakan asal-asalan. Selain itu Prof Mujamil juga menyayangkan jika mahasiswa kini anjlok dalam pembelajarannya. Mahasiswa tidak lebih bersemangat belajar daripada memenuhi kebutuhan hidup dan hiburan. Akibatnya marwah pendidikan kita berada di level bawah.

Fakta membuktikan bahwa dulu banyak mahasiswa mancanegara menimba ilmu di Indonesia. Akan tetapi saat ini kualitas pendidikan Indonesia justru tersalip dari beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Akibatnya mereka memilih kuliah di negeri sendiri atau pergi jauh ke Eropa dan Timur Tengah. Kedua, karena faktor terlalu disibukan dengan persoalan administratif.

Kata Prof Mujamil Qomar kemajuan sulit diraih jika kita masih disibukkan dengan persoalan teknis administratif. Dalam konteks kecil saja soal ttd atau pendaftaran dll kita masih dibuat ruwet. Padahal jelas tujuan utama kuliah adalah meningkatkan kualitas diri. Tapi sayang persoalan kualitas justru terhambat karena masalah administrasi yang berbelit-belit. Jadi jika ingin kemajuan setidaknya perkara administrasi dibenahi dan sistem diperbaiki. Sehingga mahasiswa bisa fokus untuk diarahkan ke jalan peningkatan etika dan akademik.

Demikianlah tantangan mengelola lembaga pendidikan di era modern ini sangatlah luar biasa. Karena problem meningkatkan kualitas sumber daya manusia lewat pendidikan begitu merata. Terlebih persoalan tradisi membaca yang turun juga menyumbangkan bagaimana pendidikan kita masih merangkak. Oleh karena itu apa yang dikatakan Prof Arif Maftukhin benar adanya. Bahwa kebanggaan adalah ketika seseorang merasa bahwa pendidikan formal tidak berakhir di S-1 melainkan terus hingga fase puncak. Terlebih mahasiswa memiliki mindset bahwa menimba ilmu itu kewajiban haruslah terus ditanamkan. Pendidikan tidak dibatasi ruang kelas melainkan bisa belajar dengan siapapun dan di manapun. Pendidikan adalah tulang punggung mengawal peradaban.[]

the woks institute l rumah peradaban 5/8/23

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...