Langsung ke konten utama

Mak Uthy


Woks

Dulu saat saya masih bocah saya sempat berjumpa dengan Mak Uthy. Awalnya saya tidak tahu siapa beliau dan kini apa menariknya untuk saya tuliskan dalam catatan sederhana ini. Entah bagaimana, tetiba saja saya ingin menuliskan tentang beliau.

Mungkin pertemuan itu adalah akhir dari perjumpaan saya dengan beliau sebelum akhirnya beliau pulang keharibaanNya. Saya kenal secara singkat tentang Mak Uthy dari Ibu saya. Kata beliau Mak Uthy adalah nenek dari teman saya yaitu Didi dan Teh Nani. Dua orang cucu Mak Uthy inilah yang pernah kenal saat ngaji di mushola. Biasanya kami mengaji iqra bergantian sorogan kepada bapak saya. Setelah itu kami langsung bermain sarung-sarungan dan darat air, buaya-buayaan. 

Sebenarnya Mak Uthy masih memiliki beberapa cucu yang saya sendiri tidak hafal semua namanya. Yang jelas kedua cucunya itu mengaji lantaran diperintah Mak Uthy. Karena sejak awal cucu-cucunya itu yatim maka Mak Uthy lah yang merawat mereka. Seperti pada umumnya seorang nenek pasti akan menyayangi cucunya. Hingga akhirnya saya berpikir bagaimana semua itu terjadi. Apa memang semua perempuan di dunia ini baik. Atau mungkin mereka memang telah diwarisi beberapa persen dari sifat kasih sayang Allah.

Saya pernah bertanya sekaligus tau dengan mata sendiri bahwa selain pijat, beliau juga bekerja sebagai pejampi (bhs Sunda: ngajampe) atau dalam bahasa Jawa dikenal sebagai tukang suwuk, termasuk juga bekerja sebagai kuli terutama membersihkan halaman rumah orang. Lebih spesifiknya kuli membersihkan segala macam reremputan di halaman. Tugas terakhir inilah yang selalu saya kenang. Bisa dibayangkan usia senja dengan punggung yang bungkuk masih membuat beliau terus bekerja. Dengan dipapah tongkat dan kinangnya di mulut Mak Uthy terus mencari rumah siapa yang membutuhkan jasanya.

Pernah suatu ketika ada rumah mewah dengan pelataran yang luas Mak Uthy kerjakan sejak pagi hingga sore hati dengan kored (sejenis cangkul kecil) khasnya. Pastinya penat dan melelahkan. Sungguh sayang dengan kerja keras yang begitu menguras tenaga beliau hanya disuguhi air putih dan beberapa potong roti. Saat saya dapati beliau pulang dari rumah tersebut katanya beliau upahnya hanya 10 ribu rupiah. Saat itu juga hati saya langsung terpukul. Saya hanya membayangkan pastinya di luaran sana masih banyak Mak Uthisme yang lainya. Seperti halnya Ir Soekarno yang menemukan Pak Marhaen di ujung kota Bandung Jawa barat. Bekerja sampai keringat bercucuran akan tetapi bayarannya tak seberapa.

Seperti umumnya orang sepuh mereka tidak bisa dihentikan jika sudah menyangkut pekerjaan. Sebab bekerja bagi mereka adalah jatidiri, karena jika tak kerja tubuh akan terasa sakit semua. Nah, dari hasil kerja keras itulah biasanya Mak Uthy akan bagikan kepada anak cucunya. Kata Mak Uthy "uing mah masih mending sangsara tapi digawe keneh. Pokoknamah ulah weh sampe kos batur teh, papentaan, iih era atuh" (saya lebih baik bekerja terus biarpun menyengsarakan. Intinya jangan seperti orang sampai meminta-minta, itu memalukan). Bagi Mak Uthy sudah tua masih meminta-minta itu merupakan hal yang kurang elok. Sehingga bagaimanapun juga kerja hasil keringat sendiri lebih baik, walau hasilnya tidak besar. Karena hasil kerja Mak Uthy selalu rapih dan memuaskan maka tak jarang banyak tetangga yang meminta jasa Mak Uthy untuk membersihkan rerumputan di rumah tersebut. Hingga akhirnya saya mendapat kabar terakhir Mak Uthy sakit karena kelelahan hingga akhirnya beliau meninggal. Entah usia berapa beliau pergi yang jelas usianya sudah sangat sepuh bisa jadi kisaran 75-89 tahun.

Di usia sepuh seperti itu banyak di antara mereka yang memiliki pemikiran sama untuk tidak ingin membebani anak-anaknya. Setua itu mereka masih berpikir demikian layaknya kita yang masih muda tentu harus lebih malu lagi jika kalah dengan semangat orang tua seperti beliau. Dari sosok Mak Uthy lah kita belajar untuk menghargai waktu, disiplin, dan memberikan pelayanan terbaik kepada orang lain. Jika tak mampu bermanfaat bagi banyak orang minimal kita sadar untuk tidak menyusahkan siapapun. Hiduplah dengan semangat dan selalu berpikir jernih. Lahul Fatihah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...