Langsung ke konten utama

Catatan Dies Maulidiyah IX MakTa UIN SATU Tulungagung




Woks

Suatu kehormatan bagi pondok pesantren Himmatus Salamah Srigading karena ditempati acara tasyakuran kawan-kawan Al Khidmah. Sejak jauh hari mereka sengaja melaksanakan kegiatan tersebut di pondok kami. Acara kali ini adalah tasyakuran milad ke-9 jama'ah Al Khidmah kampus UIN SATU Tulungagung.

Seperti biasanya acara diisi dengan pembacaan manakib Syeikh Abdul Qadir al Jailani ra. Acara ini tentu dipersiapkan dengan matang 3 hari sebelumnya. Kawan-kawan dari pengurus dan panitia sangat gegap gempita dalam mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka sejak sebelumnya ada yang masak, bersih-bersih hingga persiapan dekor dan parkir. Semua dipersiapkan demi suksesnya acara.

Alhamdulillah pada 12 Maret 2022 di sabtu pagi acara ini berlangsung dengan penuh khidmat. Sejak pagi cuaca sangat mendukung, para imam khususi sudah berdatangan dan memulai acara. Satu persatu jama'ah pun tiba dan langsung merapat di aula PPHS. Acara berlangsung sejak awal hingga akhir ditutup alhamdulilah tidak menemui kendala dan berjalan sukses.

Pada milad ke-9 ini MakTa kampus UIN SATU Tulungagung menghadirkan KH. Saiful Anam, beliau merupakan pengasuh PP. Lubabul Fatah Tunggulsari. Dalam mauidhoh hasanahnya beliau menyampaikan pesan KHR. Abdul Fatah (Pendiri PP. Menara Al Fatah Mangunsari) bahwa hidup itu mencari barokah saja. Karena percuma saja jika berilmu tinggi, pengalaman banyak tapi tidak berkah. Sesungguhnya keberkahan adalah bertambahnya kebaikan. Jika orang sudah mau berkumpul dalam majelis orang shaleh, mau shalat itu tanda ia sedang dituntun keberkahan.

Pesan KHR. Abdul Fatah adalah jangan sampai meninggalkan shalat berjamaah. Karena di dalam shalat berjamaah tersebut tentu banyak sekali keberkahannya, beda dengan shalat sendirian. Bahkan kalangan ulama menyebutkan bahwa kehilangan shalat jama'ah lebih disesali daripada kehilangan uang. Artinya bahwa uang tak bernilai jika dibandingkan dengan ibadah shalat. Sama halnya dengan kalimat lailahaillah atau tahlil lebih berat dari dunia dan isinya.

Lalu kedua yaitu jangan lupa untuk selalu tadarus al Qur'an walaupun hanya satu lembar tiap hari. Karena al Qur'an adalah pedoman umat Islam maka haruslah kita baca. Al Qur'an adalah satu-satunya mu'jizat Nabi Muhammad S.a.w yang masih bisa kita saksikan.

Selain itu beliau juga menjelaskan dalam Kitab Wasiatul Mustofa dan Mukhtaro Ahadits bahwa salah satu yang akan dirindukan surga adalah anak muda yang rajin ibadah. Jika orang tua rajin ibadah itu sudah biasa karena mereka sudah berpikir tentang durasi umur.

Beliau juga menjelaskan bahwa ada sesuatu hal yang hanya dilihat saja tapi bernilai ibadah yaitu melihat al Qur'an, melihat orang tua dan melihat laut. Demikianlah kiranya pesan beliau bahwa mahabbah dengan ibadah akan menjadi kontrol orang dalam kehidupannya. Tidak semua orang bisa menjadi umat pilihan al mustofa maka perlulah kita terus mendekat dengan majelis ulama, shalat jamaah dan baca al Qur'an. Dengan begitu semoga berkah dan rahmat Allah selalu menyelimuti kita semua.

the woks institute l rumah peradaban 13/3/22


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...