Langsung ke konten utama

Pak Naim : Profesor Sejak Di Alam Pikiran




Oleh : Woko Utoro*

Ditetapkannya Pak Naim sebagai guru besar ke-20 UIN SATU Tulungagung tentu keberkahan tersendiri. Barangkali ini kado terindah buat keluarga, kolega dan khususnya ayahanda tercinta. Pak Naim begitu kami sapa memang sosok ulet, rendah hati dan sederhana. Maka dengan turunya SK guru besar rasanya pantas untuk beliau apalagi spesialisasinya di bidang filsafat Islam menandakan kedalaman ilmu beliau.

Nama Ngainun Naim tentu tidak sulit dijumpai apalagi jika sudah bersentuhan dengan dunia buku nama beliau pasti terpampang di cover depan. Posisi beliau selain sebagai penulis juga seorang editor dan sosok yang rajin memberi pengantar. Sudah banyak buku-buku karya orang lain yang di dalamnya terdapat sentuhan tulisan beliau. Tentu semua itu tidak mudah karena perjuangan beliau yang panjang. Beliau sering berkisah bahwa awal-awal menulis selalu ditolak redaksi karena tulisanya masih acak-acakan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu tulisan beliau sudah tidak diragukan lagi.

Pak Naim barangkali satu di antara sekian nama yang menginspirasi banyak orang. Beliau yang piawai menulis itu selalu jadi rujukan baik dengan kalangan elit sampai kaum alit. Pak Naim memang rajin memberi pelatihan, workshop, seminar, dan dialog kepada siapa saja. Sehingga orang-orang atau lembaga yang pernah didatanginya selalu mendapat pencerahan dan angin segar. Jika bertemu beliau selalu ada hal baru yang belum pernah kita dengar.

Pak Naim juga sangat telaten momong orang-orang dengan ragam latar belakang utamanya soal menulis. Bisa dibayangkan sudah berapa grup menulis binaan beliau yang sampai hari ini eksis dalam menulis dan menerbitkan buku. Setelah telaten beliau juga mengayomi, tidak sedikit beliau selalu terlibat dalam banyak diskusi dan selalu beliau jawab dengan sabar.

Pak Naim selalu berprinsip bahwa melakukan hal-hal kecil justru lebih besar ketimbang hanya dalam angan-angan. Artinya sesuatu itu lebih ternilai dalam dimensi praktek bukan hanya sekadar ide kosong belaka. Dalam hal menulis misalnya, beliau selalu menyarankan untuk memanfaatkan media blog di internet. Dengan menulis setiap hari di blog kita justru akan terlatih baik memudahkan dalam mengerjakan tugas ataupun membuat buku. Banyak juga buku binaan Pak Naim yang terbit lewat media blog.

Pak Naim yang sebagai ketua LP2M UIN SATU Tulungagung tersebut selalu menekankan betapa pentingnya menulis. Barangkali membaca dan menulis adalah dua kata yang selalu melekat pada beliau. Menulislah walaupun itu hal yang sederhana. Karena dari kesederhanaan akan menjadi keluarbiasaan. Buat semua proses ini sebagai media belajar. Jangan pedulikan orang lain berbicara apa yang jelas kita sudah memulai.

Pak Naim memanglah sosok yang low profile terutama dalam hal menulis. Misalnya ketika sering mengirim tulisan baik untuk redaksi koran maupun artikel jurnal ketika tulisan itu belum dibuat maka beliau bersikap biasa saja. "Jika tulisan tidak dimuat atau ditolak, ya sudah buat lagi saja yang baru, gitu saja kok repot", mungkin begitulah kiranya. Bagi Pak Naim segala sesuatu yang dibuat sulit selama hal itu memungkinkan maka lakukanlah semampu kita. Karena setiap orang memiliki kemampuan sesuai daya ukurnya sendiri. Tidak perlu risau dengan ukuran orang lain dan memang tak pernah sama takaranya.

Yang selalu saya catat hingga hari ini tentang Pak Naim adalah, beliau itu teladan. Beliau tidak hanya pandai menyuruh dan memotivasi agar orang menulis akan tetapi beliau sendiri yang "ing ngarso sung tulodho" terhadap anggota binaanya. Bahkan kadang kami yang terlibat dalam Komunitas Sahabat Pena Kita (SPK) Cabang Tulungagung merasa malu dengan beliau. Betapa tidak, Pak Naim dengan segudang kesibukannya masih menyempatkan menulis tiap hari dan kita yang pengangguran ini selalu kalah dari beliau. Lebih lagi jika soal kepemilikan buku tentu saya secara pribadi tak ada apa-apanya.

Pak Naim mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah swt untuk maniak buku sejak kecil. Bahkan katanya beliau masih berhasrat ingin melampaui gurunya yang memiliki ribuan buku diseisi rumahnya. Barangkali buku dan segala tulisan beliau serta ragam pengetahuan yang beliau donasikan kepada khalayak akan menjadi jariyah yang terus mengalir hingga kelak. Cuma dalam pandangan sempit saya, Pak Naim akan selalu punya tugas rumahan bagaimana menjadikan anak-anaknya menjadi luar bisa seperti beliau.

Jika bapaknya Pak Naim sudah mendidik Pak Naim hingga seperti sekarang ini tentu beliau juga punya kewajiban untuk mengikuti jejak langkahnya. Tapi saya rasa Pak Naim akan mampu melewati semua hal ini. Semoga Allah swt berkenan memberikan rahmatnya kepada beliau. Ohh iya saya juga yakin Pak Naim tak pernah risau dengan gelar guru besar ini karena beliau sudah dipanggil profesor sejak di alam pikiran oleh para sahabatnya. Selamat dan sukses Pak Naim, I am Naimisme.

Srigading, 7 Januari 2022

Biodata :
Woko Utoro biasa disapa Bang Woks merupakan mahasiswa Pascasarjana jurusan Studi Islam UIN SATU Tulungagung. Ia juga santri PPHS Srigading, Pusat Studi Pesantren dan SPK TA. Memiliki minat dalam dunia buku, pesantren, tradisi budaya dan keislaman. Kini ia mukim di the woks institute sebuah blog yang memuat tulisan receh yang dibinanya sejak 7 tahun lalu. Bisa dihubungi melalui surel woksma@gmail.com.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...