Langsung ke konten utama

Profesor Ngainun Naim Sang Inspirator




Woks

Sang inspirator demikianlah satu dari sekian banyak julukan yang tersemat untuk Profesor Ngainun Naim. Sosok yang penuh dedikasi, komitmen dan berintegritas itu memang layak menjadi inspirator. Beliau sebagai seorang pribadi tentu sosoknya sangat dikagumi baik sebagai ayah, dosen, sahabat dan guru bagi para muridnya.

Ada banyak keteladanan yang beliau semai di berbagai acara mulai dari halaqoh ringan, diskusi ilmiah, acara seminar hingga pelatihan-pelatihan. Menulis dan membaca menjadi magnet tersendiri bagi orang lain untuk mengikuti jejaknya. Beliau tidak hanya sekadar memberi teori melainkan meneladankan dengan penuh semangat. Menulis menjadi ruh beliau dalam membina banyak muridnya. Demikianlah sosok inspiratif, pejuang literasi yang tak pernah berhenti.

Lewat buku ini pembaca diajak menyelami narasi kejujuran yang ditulis oleh para sahabat dan murid-murid beliau bahwa sosok Profesor Ngainun Naim adalah sang inspirator. Keteladanan, ketulusan dan kearifan terpancar lewat sosok beliau. Buku yang ada di tangan pembaca ini ibarat mata air yang memancarkan semangat, membumbungkan asa dan meneruskan perjuangan sangat layak untuk dibaca.

Buku ini adalah kesaksian dari para sahabat, kolega dan mahasiswa selama berinteraksi dengan sosok sederhana itu. Beliau telah banyak memberi secercah pencerahan yang membuat kita terus melanjutkan memperbaiki kualitas diri dengan menulis. Bagi beliau menulis akan membuat kita terus berupaya agar hidup menjadi lebih bermakna.

Kita ingat dengan sistem among Ki Hadjar Dewantara, "ing ngarso sung tulodo" dan beliau memang banyak memberi teladan, "ing madyo mangun karso" dan beliau selalu di tengah dan membangun kemauan ,"tut wuri handayani" di belakang memberi dorongan dan pengaruh yang baik ke arah kemandirian. Begitulah sosok Profesor Ngainun Naim yang tidak lelah dalam menyemai spirit literasi. Tidak hanya literasi, beliau juga sosok guru teladan dan sangat inspiratif.

the woks institute l rumah peradaban 23/3/22


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...