Langsung ke konten utama

Pendidikan Dulu, Kini dan Nanti




Woks

Kemarin aku mampir ke sebuah kedai yang menjual es teller atau es sop buah. Di sana selain melihat pemandangan aku juga melihat si penjual meracik es-nya untuk para pelanggan. Ketika usai menghidangkan es itu padaku si penjual tersebut terlibat perbincangan seru dengan pelanggan lainnya.

Aku pun lalu menyimaknya dengan saksama karena topik pembicaraannya adalah tentang pendidikan. Barangkali aku pun perlu mencatat diskusi tersebut karena topiknya pas dengan apa yang aku lakukan kini yaitu terlibat di dunia pendidikan.

Sang bapak bercerita diawali dengan keheranannya karena output pendidikan saat ini begitu luar biasa. Apalagi saat ini jenjang pendidikan begitu variatif tentu jika dibandingkan dulu pendidikan masih tunggal yaitu hanya sekolah rakyat. Sang bapak pun memuji jika cucunya yang masih kecil sudah pandai membaca menulis bahkan mengoperasikan smartphone. Jika dibandingkan dengan eranya di masa lampau tentu sangat jauh berbeda.

Biaya pendidikan masa kini tentu berbeda bahkan untuk sekolah di tingkat rendah sekalipun ongkosnya melangit. Di taraf sekolah dasar saja jika mengikuti program khusus misalnya tahfidz, kelas bahasa, hingga akselerasi tentu biayanya bisa menyamai mereka yang kuliah. Tapi walaupun demikian ia merasakan banyak perubahan besar di sektor ini termasuk hasil dari peserta didik itu sendiri.

Akan tetapi dalam perbincangan itu sang bapak menyayangkan jika pendidikan hari ini malah justru menjadikan siswanya jauh dari kesan sosial. Artinya ada serangkaian fase yang tidak dilalui bahkan sulit ditemukan di era anak kekinian. Jika dulu walaupun sekolah seadanya akan tetapi mampu mencetak siswa yang berani, kreatif, tahan banting, semangat, dan pastinya merakyat. Soal pekerjaan pun anak-anak dulu tidak pernah gengsi, artinya sekolah benar-benar mewadahi mereka para penempuh ilmu. Jika soal pekerjaan bukan menjadi faktor utama.

Sang bapak masih melanjutkan topik pembicaraannya bahwa pendidikan saat ini bahkan sampai kuliah pun masih belum menjamin mereka sukses. Bahkan kuliah hanya mencetak kuli alias pembantu industri. Salah satu faktornya mengapa mahasiwa tidak survive dalam pekerjaannya karena mereka malah gensi. Jika tidak sesuai jurusannya maka mereka tidak berani keluar. Padahal 99% output dunia pendidikan saat ini tidak linier dalam hal pemenuhan dunia kerja. Dari fenomena itulah akhirnya sang bapak menuturkan jika salah satu keponakannya tidak ingin kuliah karena mahasiswa dan yang non-mahasiswa kini malah tak ada bedanya.

Salah satu faktor yang membuat mereka berbeda adalah soal pengalaman, kejujuran, belajar dari masyarakat dan pastinya tidak gengsi. Perbedaan itulah barangkali merupakan hal yang bisa sangat mungkin hanya didapat lewat serangkaian pengalaman dan aktualisasi hidup yang sumbernya dari tengah masyarakat. Di sinilah mahasiswa sekalipun masih terus belajar dalam memahami dinamika masyarakat yang dinamis itu. Akhirnya kita berpikir bahwa untuk sukses bukan tentang pendidikannya melainkan dari sikap dan pemikirannya.

Sikap dan pemikiran tak lain hanya didapat lewat bangku pendidikan dalam hal ini sekolah. Setelah itu praksisnya melewati segenap pengalaman di masyarakat. Jika seorang pelajar jauh dari masyarakatnya maka output pendidikan telah gagal. Bukankah jantung pendidikan adalah kembali ke masyarakatnya. Begitulah seterusnya di mana ilmu tidak hanya mampir di otak atau hanya sekadar hafalan berupa teks dan teori melainkan yang sudah menjadi bagian hidup di masyarakat.

Pendidikan hanya sebagian kecil saja untuk menempa diri. Di sana terdapat metode, teori dan pengetahuan yang juga tidak didapat hanya dengan bergaul di masyarakat. Lebih lagi saat ini era digital yang mengharuskan pelajar untuk kreatif maka tuntutan zaman semakin nyata. Belum lagi dunia kita saat ini sangat begitu administratif jika tak ada kesan formal maka dunia tak akan mengakui.

Pendidikan dulu sudah jelas begitu penuh perjuangan, sederhana, prihatin dan nampak kuno. Padahal output nya juga tak kalah dengan era saat ini. Barangkali di sanalah letak keikhlasan yang membuat pelajar masa lalu mampu beradaptasi sekali pun zaman silih berganti. Sedangkan pendidikan saat ini mengharuskan pelajar untuk berpikir ekstra menciptakan daya pikirnya di tengah digitalisasi yang masif. Akankah pendidikan di masa depan bisa diramalkan tentu sudah sangat jelas bahwa hari esok berkaca dari hari ini. Pendidikan di hari nanti akan selalu berhadapan dengan sejarah yang pastinya menyuguhkan ketidakpastian dan itulah sejatinya yang harus dipecahkan.[]

the woks institute l rumah peradaban 4/6/22

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...