Langsung ke konten utama

Jalan-jalan ke Desa Ujung Selatan Tulungagung

Woks

Oprut alias Honda 700 melaju dengan sederhana. Seperti tanpa tarikan yang kencang ala pembalap. Walau demikian saya pun tetap melaju menuju rumah salah seorang teman yang saya kenal sejak 4 tahun lalu. Pertemuan kita berawal dari organisasi dan kebetulan memiliki minat yang sama dalam bidang literasi. Kami masih kenal akrab hingga saat ini. Semoga saja energi positif pertemanan ini bisa terus berlangsung hingga akhir nanti.

Perjalanan kali ini kita menuju ke daerah perbukitan tepatnya daerah Salak kembang Kecamatan Kalidawir Tulungagung, rumah teman saya bernama Mas Fauzi Ridwan. Sepanjang jalan mata selalu dicuci oleh pamandangan alam berupa hamparan padi di sawah yang hijau ranum, dan air kali yang mengalir dengan jernihnya. Tak lupa pula pemandangan bukit berbaris menampakan kesejukanya. Tanpa jalanan berkelok perjalanan motor pun akhirnya sampai di tempat tujuan.

Saat sampai di rumah beliau, lantas saya langsung berpikir mungkin ini yang namanya dahaga pertemuan. Lebih tepatnya baru bisa main atau sowan silaturahmi sejak 4 tahun lalu. Tapi apa mau dikata waktu memang baru berpihak saat ini. Tak perlu disesali pada akhirnya rindu telah terbalaskan. Saat di sana saya dan Mas Fau seperti biasanya pembahasan kita tak jauh dari dunia literasi. Dunia di mana kita meyakini bersama bahwa kualitas diri bisa berkembang sebab kita selalu merasa belajar dan terus belajar. Dari literasi kita tahu akan sebuah pencerahan.

Kita juga bicara tentang menulis dan buku murah. Menulis bagi kami adalah sarana melihat kepribadian. Terlepas dari tulisan apapun itu yang jelas orang-orang yang mengabarkan dunianya dengan menulis bisa sangat mudah ditebak kepribadianya. Selanjutnya soal buku murah, siapa orangnya yang tidak meronta-ronta jika mendengar ada buku bagus dan murah. Rasanya ingin sekali membeli semua walaupun pada akhirnya kami sadari bahwa dompet meronta-ronta. Akhir dari semua itu berujung pada sebuah lamunan. Dengan buku saja kami bisa terusik. Memang aneh. Orang-orang suka baca tulis memang begitu selalu rakus persoalan buku. Tapi pada akhirnya yang membuat saya bahagia adalah dihadiahi buku, padahal dulu akadnya membeli. Katanya itu bonus dari berkahnya dolan alias sambung silaturahmi. Bagi saya hadiah buku adalah hal terbaik sepanjang zaman, ia bagai minuman tak akan habis bagai makanan tanpa sisa. Semoga saja esok hari bisa bertukar karya buku.
***

Selanjutnya perjalanan saya menuju Karangsari Rejotangan tepatnya rumah dari senior saya Mas Rizal Fakthur Rochimin biasa disapa Mas Chimien. Selepas jumatan kami barulah berbincang, seperti halnya dengan Mas Fau, saya juga baru berkesempatan main ke rumah Mas Chiemin sejak berharap-harap selama 4 tahun. Perbincangan saya di sini temanya adalah tentang catur marga alias nasab dan nasib. Persoalannya yaitu di mana banyak saudara yang tidak pernah bercerita bahwa mereka adalah saudara. Faktornya banyak salah satunya karena status, strata ekonomi, dan tentunya cap dari masyarakat. Cap atau label itulah yang diingat masyarakat akan kebaikan atau keburukan.

Seperti halnya di rumah saya mayoritas orang jika sudah sukses (baca: soal harta) biasanya lupa dengan saudara. Tapi inilah kehidupan sebagai sebuah realitas yang harus diterima. Termasuk track record kehidupan terlepas dari baik buruk seseorang di masa lalu ia pasti akan mempengaruhi kehidupan kita saat ini. Yang jelas persoalan keburukan pada orang dulu anggaplah kita telah memaafkannya, istilahnya yaitu berdamai dengan masa lalu. Salah satu upaya untuk memutus mata rantai keburukan turunan adalah dengan sedekah. Cara itulah bisa jadi wasilah keburukan tidak akan menghampiri anak cucu.

Tema terkait keluarga memang asyik. Bahkan beberapa kali kami bercoletah tentang kenapa kami tidak kaya? karena kami dilahirkan sebagai generasi ke-8. Sebab kekayaan itu hanya diwarisi hingga tujuh turunan, bukan delapan. Walaupun begitu kami tetap bahagia sebab ada pepatah bahwa yang kaya bukan karena banyak hartanya, tapi banyak syukurnya. Pada saat itu saya pun berseloroh bahwa jika ingin kaya jadilah pedagang, hal itu berkorelasi dengan hadist Nabi bahwa di dalam berdagang banyak sekali hikmah. Selanjutnya jika ingin terhormat jadilah pejabat. Perihal ini tak perlu dijelaskan, kita pasti sangat jelas. Akan tetapi kita juga sadar bahwa hormat pejabat sifatnya berdurasi. Suatu saat kita pasti akan pensiun. Terakhir jika ingin tenang jadilah petani. Pernyataan ini mungkin multitafsir, namun nyantanya para petani begitu tenang hidupnya. Mereka lebih memaknai, menghayati hidup dengan lapang dada, tidak neko-neko, pokok urip mung sakdermo ngelakoni.

Perjalanan dolan ke rumah Mas Chiemin inilah yang begitu melelahkan. Bukan karena harus makan banyak atau harus menimba air di ladang tak lain karena bicara dengan MC. Anda pasti paham MC itu tak ada habisnya, topik selalu ada bahkan jika saya tidak sering melihat jam mungkin akhirnya saya akan nginap di sana. Tapi semua itu tidak jadi, akhirnya saya bisa pulang juga. Perjalanan kali ini saya catat sebagai sebuah jejak sederhana tapi syarat akan makna. Subur terus kebaikan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...