Langsung ke konten utama

Mengapa Sekolah Jadi Korbannya

Woks

Tarik ulur masuknya sekolah formal kembali terjadi setelah Kemendikbud mewacanakan awal Mei, lalu pertengahan Juli bahkan saat ini sekolah masih juga belum dilaksanakan. Tentu semua ini dengan berbagai macam pertimbangan, salah satunya karena kekhawatiran akan adanya klaster baru terkait penyebaran Covid-19. Tapi kita sebagai orang awwam lantas bertanya mengapa tempat umum lain masih beraktivitas hingga saat ini?

Masyarakat kecil memang tidak tau menau soal mengapa sekolah hingga saat ini belum juga dibuka aktivitasnya. Tapi bolehlah kita berpikir sejenak mengapa hal itu bisa terjadi dan mengapa pula lembaga pendidikan yang harus jadi korbannya. Kita seolah-olah sedang disuguhkan agar berpikir negatif terhadap kebijakan pemerintah. Di negeri +62 memang sangat unik, kadang membuat kita tertawa sekaligus jengkel melihat elit seperti tidak mampu melihat realitas yang ada. Bayangkan saja tempat umum seperti pasar, mall, terminal, stasiun, bandara, masjid, sudah boleh beroperasi tapi sekolah masih saja belum beroperasi. Jika alasanya kerumunan tentu tempat umum itu lebih berpotensi besar daripada sekolah. 

Akhir-akhir ini karena kebijakan pemerintah yang cenderung plin-plan akhirnya beberapa sekolah dasar dan menengah mencoba beraktivitas seperti biasanya, namun masih menggunakan protokol kesehatan seperti dengan pengadaan cuci tangan, bilik sterilisasi hingga gerakan pakai masker. Akan tetapi mengapa pula kampus masih juga tutup, padahal tingkat pemahaman mahasiswa dan siswa tentu jauh berbeda. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus tentu kita hanya akan terus dikecewakan belajar dengan sistem Daring yang melelahkan. Lalu siapa pula yang diuntungkan? mungkin saja para penyedia layanan provider alias pebisnis jaringan internet. Sampai kapan hal ini terjadi? jawabnya sampai kebijakan baru lahir dan diterapkan.

Kita menjadi berpikir apakah pemerintah menganggap bahwa masyarakat itu bodoh? toh kenyataan tidak. Masyarakat kita sudah semakin cerdas. Mereka setidaknya mampu menerka mana regulasi yang bersifat politis mana regulasi yang pro-rakyat. Darisanalah kita terus berupaya untuk mediasi dengan pihak-pihak yang memiliki otoritas agar mempertimbangkan dan mengkaji mengapa lembaga pendidikan yang jadi korbannya. Masyarakat hanya khawatir jika sasarannya dunia pendidikan maka secara lebih jauh akan membuat pembodohan terhadap siswa. Jika di rumah lebih baik mengapa pula banyak orang tua yang mengeluh anaknya lebih dominan dengan HP daripada belajarnya. Padahal kita tahu bahwa dengan sekolah atau tidak anak-anak masih terus enjoy dengan gadgetnya.

Kekhawatiran jika anak-anak berkepanjangan di rumah mereka akan semakin jenuh dan pastinya akan banyak mengikis kearifan yang selama ini telah dibangun seperti betegur sapa, menghormati guru, sosialisasi dengan teman-teman, hingga semangat belajar. Belum lagi keluhan orang tua terkait fasilitas pendidikan yang berkurang sedangkan potongan biaya pendidikan yang belum berdampak besar masih kita temui. Sampai pada akhirnya kita berkesimpulan bahwa sekolah bukan menjadi harapan lagi bagi anak-anak. Sebab aplikasi penyedia pembelajaran dalam smartphone semakin masif kita akses. Termasuk segala macam pengetahuan tersedia membanjiri layar monitor gadget kita. Lalu bagaimana nasib sekolah selanjutnya, termasuk guru dan kekhawatiran akan hilangnya moralitas. Saat ini sebagai rakyat biasa kita tidak bisa apa-apa selain menunggu bagaimana kelanjutan dari kisah yang lumayan panjang ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...