Langsung ke konten utama

Meneladani Nabi Ibrahim AS Melalui Ritual Kurban

Woks


Setiap tahun saat perayaan Idul Adha tiba kita akan banyak melewati aneka ritual ibadah di bulan Dzulhijah seperti ibadah haji, puasa sunnah tarwiyah-arafah, shalat sunnah Idul Adha dan pastinya berkurban. Di antara ritualitas ibadah tersebutlah kita tentu familiar dengan berkurban.

Kurban adalah ritual penyembelihan hewan (sesuai syariat) pada hari setelah shalat Idul Adha hingga hari tasyrik. Kurban telah disyariatkan berdasar kisah Nabi Ibrahim as. Dalam kitab Miskatul Anwar Nabi Ibrahim as memiliki 1000 ekor kambing, 300 ekor lembu dan 100 ekor unta. Lalu malaikat Jibril bertanya milik siapa semua hewan tersebut? Nabi Ibrahim as menjawab, "semua milik Allah, kebetulan saat ini milikku". Jika suatu saat pemiliknya meminta semua itu maka Nabi Ibrahim as akan menyerahkannya sekalipun anaknya (Ismail).

Sekilas dari peristiwa itulah Nabi Ibrahim as lalu bermimpi untuk menyembelih putra tercintanya. Hingga akhirnya penyembelihan itu terjadi. Dalam sejarah yang disembelih diganti dengan domba Kibbas. Konon domba itu adalah milik Habil ibn Adam as saat berkorban kepada Allah dulu. Sampai hari ini berkurban menjadi salah satu syariat tertua yang telah kita terima sebagai warisan.

Pelajaran yang didapat dari Nabi Ibrahim as dan putranya Ismail di antaranya : kita diajari untuk bersikap ikhlas bahwa sesuatu ada pemiliknya. Jika suatu saat yang punya memintanya tidak ada alasan buat kita mempertahankan mati-matian, termasuk perkara dunia. Sebab perkara bendawi semua bersifat sementara, berdurasi dan hak guna pakai. Jika haknya sudah habis apa mau dikata. Bahkan perkara akhiratlah yang perlu kita perhatikan. Selanjutnya kita diajari akan ketabahan Nabi Ibrahim, maka pantas bahwa beliau mendapat gelar Khalilullah (kekasih Allah). Tidak ada yang lebih tabah dari Nabi Ibrahim as yang rela mengorbankan putranya semata atas perintah Allah. Terakhir sikap pasrah Ismail bahwa dirinya tahu semua telah kehendak Allah. Jadi ranah pasrah adalah dimensi keimanan, semakin dalam keimanan seseorang maka semakin yakinlah ia tanpa mengenal protes.

Semua pelajaran tersebut harus kita hayati dengan sebaik-baiknya. Karena apalagi yang akan kita persembahkan kepada Allah selain penghambaan total kepadaNya. Jika kita tak mampu sabar ala Nabi Ayyub, tak mampu ikhlas ala Nabi Ibrahim dan tak mampu jujur ala Nabi Muhammad saw, setidaknya kita tidak menjadi hamba amatiran. Semoga Allah swt senantiasa terus membimbing kita di jalanya yang lurus, jalan yang penuh dengan cahaya kebajikan.

the woks institute, 1/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Zakat Sebagai Sarana Ritual dan Kesehatan

Woks Secara bahasa zakat berarti suci, berkembang, dan berkah. Dalam istilah fikih zakat berarti harta yang wajib dikeluarkan dari kepemilikan orang-orang kaya untuk disampaikan kepada yang berhak menerimanya dengan aturan syariat. Dalam agama apapun zakat telah disyariatkan walaupun cara dan subjek wajib zakatnya sedikit berbeda. (Syahruddin, 2014:73) Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, zakat baru disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah walau dalam al Qur'an telah dijelaskan sebelum Islam datang, umat-umat terdahulu juga telah mengenal zakat. Setiap Nabi memiliki cara zakatnya tersendiri seperti zaman Nabi Musa yang memerintahkan menzakati hewan ternak seperti unta, kambing dan lembu. Bahkan Nabi Musa juga pernah meminta agar Qorun mengeluarkan zakatnya. Zaman Nabi Isa pun tak jauh berbeda yaitu meminta orang-orang yang kaya untuk mengeluarkan zakatnya kepada yang miskin. Saat ini kita masih mengikuti syariat zakat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw dengan penje...