Langsung ke konten utama

Malam Tirakatan di Pesantren Al Azhaar Tulungagung


Woks

Gema shalawat dan dzikir mengiringi kami sejak bada magrib. Alunan nada-nada penuh semangat juga tak kalah mengalun merdu. Seolah-olah darah juang masih terasa dari tiap desahan nafas. Ia mengalir menitis ke setiap jamaah yang hadir. Sambil menyerukan "merdeka" ke atas langit dengan lantang menghangatkan suasana malam itu.

KH Imam Mawardi pengasuh Pesantren Al Azhaar Tulungagung membuka kegiatan malam tirakan dengan ucapan rasa syukur atas segala nikmat yang besar berupa kemerdekaan. Beliau bercerita panjang lebar tentang semangat heroik yang ditujukan beberapa orang melalui jalannya masing-masing seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Jendral Soedirman, Bung Tomo, dan banyak lagi melalui medan perang. HOS Cokroaminoto, Abdul Muis, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Ki Hadjar Dewantara melalui mendidik. Ir Soekarno, Bung Hatta, KH Agus Salim, Sutan Sjahrir melalui meja diplomasi dan masih banyak lagi. Perjuangan mereka sampai berdarah-darah. Beliau juga bercerita bahwa sejak awal perebutan kemerdekaan itu tidak lupa peran para santri dari berbagai daerah, namun sayang sejarah kita masih enggan mengakui peran mereka.

Selanjutnya giliran Bopo Lamidi (82) beliau perupakan pejuang kemerdekaan. Usia yang sepuh tidak memperlihatkan kerentaanya justru beliau seperti anak-anak muda yang begitu semangat. Bahkan beliau merasa senang di usia senjannya masih terus bertemu orang-orang untuk menceritakan sejarah pengalamannya dulu. Dengan gaya guyonannya beliau bercerita panjang lebar saat dulu di mana kemerdekaan merupakan cita-cita utama. Orang-orang berjuang seperti tanpa mengenal lelah. Tak pernah kenal rasa takut, sekalipun bermodal bambu runcing.

Pesan beliau seperti tertuang dalam tulisanya meminta untuk melanjutkan amanah para pendiri bangsa untuk terus merajut akan kokohnya kesatuan, persatuan, dan menjunjung tinggi silaturahmi. Resapi dalam-dalam filsafat Pancasila yang di sana mengandung senyawa yang terpadu makna, pesan dan kajian semangat Islamiyah, kalimat syahadat melalui Pancasila. Ibarat telapak tangan, depan dan baliknya, "daun sirih mlumah lan murepe", sama halnya beda digigit sama rasanya. Beliau juga mengutip pidato Presiden Soekarno saat tampil di sidang PBB dengan mengatakan, " you now, Pancasila not only for Indonesian, but for all the people on the world. And Pancasila, believe to god, humanity, unity, democracy, and social welfare for the people". Pesan tersebutlah mengalir bagai air malam itu.

Beliau juga berharap kepada generasi mendatang untuk terus merawat kebersamaan dalam keberagaman. Sebab Indonesia ini di bangun oleh banyak kalangan dari berbagai suku bangsa. Jangan sampai kita mau pecah belah karena diadu domba pihak yang merongrong dan tak bertanggungjawab. Kita punya Pancasila untuk terus dihayati dan diamalkan. Pada saat ini usia bangsa ini sudah 75 tahun kita hanya terus berdoa semoga semakin maju dan hidup dalam aman dan damai. Merdekaa.

the woks institute, 17/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...