Langsung ke konten utama

Pojok Kebahagiaan di Hari Raya Idul Adha

Woks

Kita tidak tau pasti sekitar 1000 tahun yang lalu di zaman Nabi bagaimana keadaan hari raya Idul Adha. Lebih lagi saat pertama kali syariat untuk berkurban itu turun ke muka bumi, kecuali kita tau sejak di madrasah. Di mana dulu assatidz kita menceritakanya betapa tabah dan ikhlasnya Nabi Ibrahim as ketika diperintah menyembelih Nabi Ismail as.

Sudah pasti setiap Idul Adha tiba dulu tidak ada istilah "nyate" atau "bakaran" seperti di tradisi kita (baca : Jawa). Di sana selain shalat Idul Adha lalu menyembelih hewan kurban lalu membagikanya ke setiap orang yang membutuhkan (8 asnaf seperti zakat). Tapi saat ini semua kebagian, asal semua senang, rukun dan bahagia. Semua itu didasari dengan istilah kurban untuk semua. Bahkan tak jarang daging kurban hasil patungan atau sekedar niat belajar. Jika syariat satu ekor sapi atau unta untuk 7 orang maka atas niatan belajar bisa untuk beberapa orang. Inilah yang terjadi di masyarakat kita. Tapi selama tidak ada konflik semua anggap saja beres, walau secara fikih bermasalah.

Selama perayaan Idul Kurban bagi mereka yang kebagian daging pasti akan sangat senang. Tidak hanya masyarakat, santri pun sangat berbahagia. Semua euforia itu bisa terlihat sejak proses pemotongan, pendistribusian hingga konsumsi. Bagaimana tidak bahagia, wong makan daging hanya setahun sekali dan itu gratis. Kita bisa menyaksikan raut wajah ceria saat kepul asap membumbung menerbangkan aroma daging baik dipanggang, sate atau dibuat kambing guling. Kebahagiaan itu memang sederhana tapi nampak mahal harganya.

Bagi para santri khususnya kebahagiaan saat memotong dan membersihkan jeroan hewan bisa menjadi hiburan tersendiri lebih lagi saat olahan hewan tersebut sudah matang. Pastinya makan bersama akan selalu nampak nikmat karena hasil kerja keras sendiri. Bahagia memang sederhana karena resepnya kita sendiri yang mencipta. Paling jauhnya kita harus ingat bahwa ajaran kurban tidak dimaknai senang-senang akan tetapi melihat makna yang terkandung di dalamnya keikhlasan Nabi Ibrahim, kepasrahan Nabi Ismail dan kebesaran hati hewan kurban. Jika hewan pun rela dikurbankan mengapa manusia tak mau berkurban untuk sesamanya? inilah yang perlu kita uraikan sepanjang hayat.

the woks institute, 1/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...