Langsung ke konten utama

Obituari Kang Yance: Bupatine Sapa


Woks

Berita meninggalnya mantan Bupati Indramayu periode 2000-2010 Dr H Irianto MS Syafiuddin, S.E., M.M bermunculan di beranda Facebook maupun story WA. Secara pribadi saat mendengar berita duka hati saya langsung rapuh. Fenomena terpisahnya ruh dari jasad tersebut selalu membuat saya menangis sekalipun ia seorang penguasa yang dulu pernah punya track record merah selama memimpin.

Terlepas dengan apa yang pernah diperbuat oleh almarhum Kang Yance selama hidupnya, toh beliau pernah menjadi pemimpin kita selama dua periode. Bahkan beliau juga sempat menjadi calon Gubernur Jabar pada pesta demokrasi tahun 2013 bersama Tatang Farhanul Hakim. Kenangan saya bertemu beliau yaitu dua kali saat ada reses atau kunjungan kerja di daerah Balir Gantar. Di sana beliau memberi sambutan menggelegar khas Jawa wong dewek pada sebuah panggung hajatan. Kedua, saat saya bersama rombongan naik motor untuk mendapat santunan. Di sana kita mendapat santunan berupa uang dan sembako dan beliau langsung yang memberikannya.

Tidak ada gading yang retak. Tidak semua orang menampilkan kesempurnaan. Entah di sana hening kita tidak pernah tau apa yang diperbuat beliau. Saya sendiri tidak begitu mengikuti kancah politik di Indramayu. Cuma hasil mendengar coletahan para orang tua, politik di negeri kita masih berbau dinasti. Sekitar tahun 1946 ayah kang Yance pernah jadi bupati, tahun 2000 beliau dan tahun 2010 istrinya hingga sekarang digadang-gadang anaknya. Tapi apakah semua itu salah. Tidak juga. Selanjutnya politik di tanah Dermayu masih sektoral, artinya hanya daerah tertentu saja yang akan diperhatikan karena partai pengusung selalu dimenangkan suaranya. Jika kita tidak ikut di dalamnnya semua hanya berakhir sebagai rentetan janji, salah satunya jalan Mekarjaya-Sukaslamet sejak saya kecil hingga saat ini tak ada perbedaanya. Lalu di mana anggaran berada? saya tidak tau.

Ini persepsi saya, selama kang Yance memimpin setidaknnya ada hal-hal yang bisa kita petik sebagai pelajaran diantaranya beliau sebagai orang yang peduli pendidikan. Kita lihat betapa pentingnya pendidikan sampai-sampai beliau merampungkan S-3 nya di UPI Bandung demi menambah kualitas diri. Pendidikan sangat penting karena ia bukan hanya sekedar menambah gelar tapi demi meningkatkan peradaban minimal untuk diri sendiri. Selain itu berbagai penghargaan selama beliau memimpin pun pernah singgah di kabupaten ini. Terlepas masyarakat tau atau tidak yang jelas ada sekitar 28 penghargaan termasuk Adipura. Tak lupa pula beliau juga seorang yang organisatoris hal itu terbukti dari banyaknnya organisasi yang pernah beliau ketuai salah satunya ketua PWI dan ketua DPD partai Golkar.

Sekarang beliau telah dipanggil keharibaanNya. Siapa orang yang pernah kecewa akan kepemimpinannya. Toh semua tidak perlu disesali. Jalan hidup orang telah berbeda, namun saat ini sebagai masyarakat kecil kita tidak boleh mengutuk seseorang karena kesalahan di masa lalunya. Saat ini kita sendiri perlu bercermin diri sebelum dihisabNya. Selamat jalan kang, padahal sukiki pan merdeka, tapi yawis, emang wis kudune. Sing tenang ya ng kana. al fatihah.

the woks institute, 16/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...