Langsung ke konten utama

Suro sebagai Miqat Kearifan Masyarakat Jawa

   (Sumber foto: Roziq Sumbergempol-TA)

Woks

Bulan Muharam dalam penanggalan Jawa dikenal dengan bulan Suro diambil dari kata "Asyura" atau hari ke sepuluh. Bulan yang setiap tahunnya menjadi istimewa di berbagai kalangan baik suku dan agama tak terkecuali bagi orang Jawa. Saat masuk di bulan Suro orang-orang mulai menganggap bulan ini penuh mistis dan bertuah. Sehingga tidak aneh jika bulan ini begitu ramai dari berbagai aktivitas seperti tradisi, budaya dan kearifan lokal.

Bulan yang ditetapkan oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo sebagai awal dari penanggalan Jawa tersebut hingga kini masih diyakini masyarakat sebagai bulan yang sakral. Jika kita berkeliling pulau Jawa tentu akan kita temui berbagai tradisi yang berkembang di antaranya; tradisi kirab Kebo Kyai Slamet di Solo, Mubeng Benteng di Jogjakarta, Jamasan Tombak Kyai Upas di Tulungagung, Jamasan Pusaka Gong Kyai Pradah di Blitar, Ritual di Patilasan Sri Aji Joyoboyo Kediri, Sapi-sapian di Banyuwangi serta banyak lagi lainnya. Selain itu ada juga tradisi kenduren, metri bumi dan bersih desa serta ritual pribadi lainnya seperti ngumbah gaman.

Terlepas dari perspektif tradisi dan budaya yang berkembang di masyarakat, bulan Suro sebenarnya merupakan miqat (titik awal) dalam sebuah perjalanan kearifan yang ada di masyarakat. Bulan ini pula dimaknai sebagai miqat zamani-makani artinya menjadi pertanda awal (waktu) sekaligus tempat berpijak masyarakat dalam melihat banyak hal. Jika kita tarik sejarah tentu bulan Muharam dalam Islam (Hijriyah) banyak sekali peristiwa besar yang menjadikanya istimewa salah satunya diterimanya doa Nabi Adam as, Nabi Muhammad saw memperoleh al Qur'an sebagai pedoman umat dan lainnya. Termasuk bulan Suro bagi masyarakat Jawa secara realitas empirik-simbolik banyak mengandung unsur ekspresi kesyukuran dan momen introspeksi diri.

Masyarakat akan berkumpul dalam suatu tempat lalu mereka akan memanjatkan doa bersama yang dipimpin tetua adat. Bulan Suro diyakini masyarakat sebagai satu momentum eling lan waspodo, artinya kita diajak kembali untuk mengingat apa yang pernah dilakukan dalam setahun ini. Dalam Islam mengisi bulan Muharam tersebut tentu dengan memperbanyak dzikir, puasa sunnah, silaturahmi, sedekah dan memuliakan anak yatim. Akan tetapi di masyarakat berkembang berbagai macam tradisi yang sebenarnya maknanya tak jauh berbeda dari Islam. Hal inilah yang menjadi sinkretisme Islam dengan kearifan lokal masyarakat sejak awal yang ditetapkan oleh Sultan Agung agar dakwah Islam tersiar kemanapun tempatnya.

Kearifan masyarakat saat bulan Suro atau dalam acara apapun tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Namun kita perlu juga mengkritisi agar tidak kebablasan. Seperti berdoa memohon jodoh, rezeki, kemakmuran kepada pohon besar, batu atau pusaka tua padahal semua hal itu bermakna simbolik. Termasuk memaknai ngumbah gaman artinya tidak hanya mensucikan alat perkakas atau benda pusaka melainkan "nyuciaken ageman" yang berarti mensucikan diri dari segala kesalahan, hilaf dan dosa. Maka dari itu melalui serangkaian acara dan ritual bersama masyarakat diajak untuk hidup rukun, saling toleran, menghormati, memberi maaf, dan bermanfaat bagi liyan.

Kerukunan di masyarakat harus terus dipupuk dan terus diperbarui melalui bulan Suro tersebut. Karena Suro sebagai pertanda awal maka masyarakat diingatkan bahwa bulan tersebut adalah awal kaki berpijak, tempat berporos kembali saat lupa menerpa, saat tuli terjadi dan saat mata hati buta. Semoga saja kearifan masyarakat bisa terus terjalin dengan baik sebagai sebuah kekayaan yang harus dipertahankan.

the woks institute, Asyura 1442 H/akhir Agustus 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...