Langsung ke konten utama

PAC : Merawat Anak Merawat Masa Depan

            (sumber gambar : Canva.com)

Pasar Senggol yang terkenal itu tak mungkin saya ketahui jika dulu tak mampir ke sanggar kepenulisan Pena Ananda Club (PAC) yang beralamatkan di Desa Bangoan Kecamatan Kedungwaru Kabupaten Tulungagung. Sanggar tersebut adalah pelabuhan saya dalam mengarungi dunia literasi hingga akhirnya jatuh hati dengan kuliner yang ada di pasar Senggol. Hampir setiap minggu pagi saya membeli cenil, gethuk, punten, sompil serta jajanan tradisional lainya hingga akhirnya tertarik dengan keseruan program literasi yang ada di PAC. Sekarang dunia telah berubah cepat dan saya pun jarang sekali ke sana alasanya sederhana kini telah ditelan kesibukan.

PAC saya kenal dari seorang teman yang kebetulan satu genre pecinta literasi. Sekitar tahun 2017 tepatnya bulan Oktober saya berproses di PAC terutama saat turut menyukseskan acara FBM II. Acara dua tahunan tersebut telah membawa saya mengerti banyak hal terutama dunia literasi. Bunda Tjut Zakiya Anshari (Founder PAC) yang sekaligus penggagas Festival Bonorowo Menulis (FBM) banyak memberikan asupan nutrisi motivasi, inspirasi, pengetahuan dan tentunya dunia literasi. Banyak hal di luar itu yang juga saya dapatkan salah satunya adalah tentang anak.

Komitmen akan merawat anak-anak dan dunianya sangat saya ingat hingga hari ini. Ya, bagi Bunda anak dan dunianya sangatlah berharga. Maka dari itu sebelum dunia mereka direnggut oleh orang dewasa Bunda dan relawanya terus bergerak maju menyelamatkan mereka dari ancaman zaman yang melenakan ini. Salah satu yang saya ingat adalah dari nama Pena Ananda Club itu sendiri. Pena berarti alat tulis kehidupan yang berfungsi merekam jejak demi menginspirasi, mengedukasi dan mencerahkan terutama dalam dunia anak. Sebab kata Bunda jika anak-anak sudah diabaikan apalagi terlantar lantas siapa lagi jika bukan kita yang mau peduli. Maka dari itu jangan berhenti peduli apalagi menutup kedua mata. Selanjutnya Ananda adalah anak yang lucu lagi menggemaskan. Mereka selalu butuh pengarahan sesuai dengan dunianya, bermain sambil belajar dan Club adalah tempat atau wadah yang menjadi sarana berproses bersama.

Hari ini tepat 2 Agustus saya mengingat kabar bahwa PAC bertambah usia. Sudah berjalan kurang lebih 12 tahun berproses dalam lingkar Taman Baca Masyarakat (TBM) yang tujuanya adalah membangun dan mengembangkan desa dengan basis literasi. Usia yang terus meremaja tentu masih dalam proses berjuang pastinya tidak mudah. Bahkan saat ulang tahun ke-9 PAC saya menyaksikan betul tetes air mata perjuangan Bunda dalam merintis PAC serta berjuang hadir di tengah masyarakat. Bahkan sesekali saya pun ikut haru karena Bunda dan PAC hingga hari ini tetap eksis memberi jalan lurus menyemangati anak negeri dengan pengembangan literasi.

Sekali lagi anak-anak adalah aset berharga. Mereka perlu terus dirangkul dan diarahkan ke jalan kebaikan. Sebab anak-anak adalah tumpuan masa depan. Selamat ulang tahun PAC di 2020 ini semoga tetap semangat, ribuan doa mengiringi langkahmu dalam memajukan negeri. Semoga tak surut menginspirasi dan tak jemu mencerahkan. Salam Literasi.

the woks institute, 1/8/20

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...