Langsung ke konten utama

Dari Buku Amalan ke Buku Bacaan




Woks

Tradisi masyarakat kita tentang berdo'a memang sangat unik salah satunya melalui rutinan yasin tahlil. Rutinan yang biasanya malam hari diisi oleh bapak-bapak dan siang hari oleh ibu-ibu tersebut memang telah mengakar kuat bahkan sampai mencirikan kalangan santri. Setiap ada orang meninggal dapat dipastikan tradisi amaliyah tersebut tak terlewatkan utamanya dengan buku yasin. Orang bahkan meyakini bahwa arwah yang tidak dibacakan do'a sejatinya akan membawa ketidaktenangan. Maka dari itu tradisi ini seolah menjadi hal yang wajib ada di masyarakat terutama kultur Nahdliyyin.

Beberapa kali bahkan sering teman-teman digoda bahwa jika tak sempat menulis buku minimal ia akan ditulis dalam buku yasin. Tapi sangat disayangkan buku yasin hanya terdiri atas rangkaian amalan dan do'a. Di sana masih belum termuat manaqib singkat orang yang meninggal tersebut. Sehingga orang lain hanya melihat foto dan keterangan tanggal lahir dan wafatnya saja. Coba jika direnungi setiap buku amalan tersebut berisi biografi tokoh tersebut pastilah akan mudah tergambar rekam jejaknya selama masih hidup. Rasanya akan begitu lengkap dan tak akan lepas dari ingatan.

Dalam buku Diskursus Kerinduan (2021) saya menuliskan bahwa tradisi membacakan yasin tahlil bersamaan dengan manaqib orang yang telah wafat adalah cara unik untuk menuai kerinduan. Betapa sosok yang telah meninggalkan keluarga tersebut sangatlah ingin selalu dikenang. Maka dari itu sikap, tingkah laku selama di masyarakat adalah foto copy seseorang dalam penilaian orang lain. Perlulah untuk digali lebih dalam bagaimana buku amalan tersebut sudah saatnya bertransformasi menjadi buku bacaan.

Buku biografi tersebut diharapkan tidak hanya sekadar bacaan akan tetapi bisa menjadi rujukan utama ketika kesimpangsiuran terjadi di masyarakat. Selama ini masyarakat hanya tahu seseorang secara parsial maka dari itu melalui buku tersebut harapannya dapat menekan kesalahpahaman. Apalagi seorang tokoh yang memiliki kearifan serta kontribusi di masyarakat sangatlah tepat untuk dikenang dalam sebuah buku. Barangkali buku adalah museum yang akan menjadi saksi hidup sekalipun seseorang itu telah tiada. Tubuh boleh saja berkalang tanah tapi lewat sebuah buku catatan ia akan lebih abadi. Buku memang lebih abadi daripada usia penulisnya.

the woks institute l rumah peradaban 2/9/21

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...