Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama M. Saifullah Huda: Menggali Inspirasi dari Negeri Jepang




Pod-writes kali ini edisi spesial dalam rangka memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2021. Alhamdulillah kita kedatangan tamu seorang pekerja tangguh dan menginspirasi. Beliau adalah tukang sound alias Wedding Organizer (WO) tapi suka belajar bahasa Jepang. Selain sebagai tukang sound beliau juga pekerja di salah satu koperasi milik PTPN dan pastinya suka ngopi. Mari kita simak perbincangan seru kami dan Mas Muhammad Saifullah Huda.


Jurnalis TWI: Mengapa anda berminat ke Jepang? tidak negara lain misalnya Amerika atau Arab.

Mas Huda: Tentu ini jawabanya subjektif ya, sebab beda kepala beda pula isinya, trus rasa juga menentukan. Bagi saya Jepang itu istimewa terutama saya berminat di budayanya, teknologi pertanianya maju, iklimnya, animenya pokok banyak hal yang ingin saya pelajari di sana.

Jurnalis TWI: Siapa orang yang mempengaruhi sampean sehingga memiliki minat ke Jepang?

Mas Huda: Ya, sebenarnya tidak ada cuma saya pingin saja. Sepertinya tiba-tiba muncul, akan tetapi bisa juga karena dipengaruhi anime walau tidak begitu besar.

Jurnalis TWI: Lantas apa sih tujuan ingin ke negeri Sakura itu?

Mas Huda: Ya tadi salah satunya karena penasaran, ingin melihat dan memastikan lebih jauh Jepang itu seperti apa terutama ingin tahu budayanya, perekonomiannya. Kita tahu selama ini Jepang menjadi rujukan terkait teknologi dan banyak hal.

Jurnalis TWI: Apa upaya sampean dalam mewujudkan keinginan ke Jepang tersebut? barangkali kursus kah?

Mas Huda: Sebenarnya pingin kursus akan tetapi karena ketiadaan biaya, waktu maka saya lebih banyak belajar secara otodidak misalnya dari buku, teman, youtube dll. Jadi selama ini belajar secara formal belum saya lakukan.

Jurnalis TWI: Lalu apa skill sudah sudah sampean miliki?

Mas Huda: Yo sebenarnya bahasa sudah saya pelajari walaupun sifatnya masih dicicil ya. Trus saya juga sedikit demi sedikit sudah mempelajari budayanya dan juga saya menaruh minat pada senjata tajam Jepang misalnya katana, termasuk juga estoc (Prancis, Inggris), rapier (Eropa Barat), hingga samurai kalau di Indonesia mungkin ya keris sepuh, kamardikan dll. Selain itu karena terpengaruh film samurai atau film lain yang didramatisir akhirnya membuat saya jadi tertarik. Sehingga saya sangat berambisi ingin ke Jepang.

Jurnalis TWI: Apakah ada sentimen, bukankah dulu Jepang adalah penjajah Indonesia. Mengapa sampean tetap menaruh minat ke Jepang?

Mas Huda: Tidak ada ya saya benci Jepang. Tujuan saya ya murni, karena memang punya minat di bidayanya, kuliner, fotografi, senang menanam dan saya juga senang akan masakan.

Jurnalis TWI: Yang paling anda senangi dari negeri matahari terbit tersebut?

Mas Huda: Paling utama adalah tempatnya, karena di sana seperti kuil-kuil, orangnya bisa dijadikan objek foto dan tentunya unik artistik.

Jurnalis TWI: Ini kan masa pandemi entah kapan jika sampean tidak sempat berangkat ke sana bagaimana?

Mas Huda: Ya tidak masalah, wong awalnya pun tujuan ke sana ingin kuliah atau kerja. Jika pun tak kesampaian ya sudah toh juga usia sangat terbatas. Akan tetapi untuk merawat asa itu saya masih tetap mempelajari huruf kanji, hiragana, katakana. Juga sebenarnya tidak begitu kecewa karena melalui anime pun Jepang sudah tergambar dengan jelas termasuk adat budaya mereka, bahasa yang juga memiliki dialek seperti di Indonesia.

Jurnalis TWI: Yang paling sulit sulit dipelajari dari negeri Honda itu apa sih?

Mas Huda: Yaitu huruf kanji, karena huruf tersebut sangat rumit. Aslinya Jepang itu tidak punya aksara sendiri ia kan aslinya dari daratan Cina yang masuk melalui semenanjung Korea. Lalu huruf kanji dipakai pertama kali di Jepang. Mereka punya istilah konyomi (kanji Jepang) dan onyomi yang diadopsi dari aksara Tiongkok/Cina tersebut lalu menjadi katakana, hiragana.

Jurnalis TWI: Ajaran Jepang yang sangat sampean kagumi?

Mas Huda: Yang saya ketahui salah satunya Bushido, bushi (ksatria) dan do (jalan). Jadi ia adalah jalan ksatria yang saya kagumi karena kode etiknya.

Jurnalis TWI: Hal apa yang sulit dipelajari dari Jepang?

Mas Huda: Ya lagi-lagi mempelajari bahasa, karena bahasanya memiliki penggunaan tersendiri seperti, hiragana (kata resmi Jepang), katakana (sapaan asing), kanji (pembeda, kata formal), romanji (penulisan aksara latin).

Jurnalis TWI: Makanan yang disukai dari Jepang?

Mas Huda: Takoyaki, tako (gurita) dan yaki (panggang), tambahanya mungkin sushi dan dorayaki hehe.

Jurnalis TWI: Bagaimana cara merawat asa dan apa yang ingin di kembangkan dari Jepang?

Mas Huda: Ya pertama kita harus mencari orang atau teman se-frekuensi, karena mereka selain memiliki daya dukung juga sebagai channel jika suatu saat ada informasi mengenai hal yang diminati. Kedua hal yang ingin dikembangkan tentu
inspirasi dari sana terutama dalam hal dokumentasi foto, kuliner, pengembangan pertanian seperti melon, timur, anggur serta budidaya koi dan sidat (unage).

Jurnalis TWI: Kira-kira apa pesan pemuda untuk melangkah ke depan?

Mas Huda: Jika punya cita-cita kejarlah daripada besok menyesal, setidaknya kita sudah mencoba.


the woks institute l rumah peradaban 15/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...