Langsung ke konten utama

Menakar Kembali Arti Sebuah Pengorbanan




Woks

Beberapa hari dalam sebuah diskusi kecil seorang teman bertanya bagaimana bangsa Indonesia dapat melahirkan kembali pahlawan. Apakah masih mungkin terjadi. Rasanya pertanyaan tersebut sukar untuk dijawab akan tetapi sebenarnya ada yang sederhana yaitu siapa saja bisa jadi pahlawan. Salah satu syarat menjadi pahlawan adalah ketulusan akan pengorbanan.

Begitulah kiranya bahwa dengan berkorban seseorang bisa menjadi pahlawan. Tentu untuk berkorban sangatlah tidak mudah. Seseorang perlu berjuang melewati segala hal yang pahit dan tak mengenakan. Jika orang dulu demi kemerdekaan harus berkorban bertukar darah dan nyawa. Jika saat ini tantangannya sudah berbeda yaitu berkorban melawan waktu dan kesempatan. Jadi apakah seseorang mau berkorban dengan waktu yang justru tidak menguntungkan bagi dirinya.

Bicara pengorbanan bolehlah kita simak kisah Azkanio Nicola Corbuzier atau Azka. Ia adalah anak pesohor Dedy Corbuzier (dulu Magician) yang rela mengcovidkan diri demi bisa merawat ayahnya yang terpapar Covid-19. Kata Azka ia rela berkorban apa saja demi ayahnya. Saking cintanya pada Dedy bahkan Azka siap mati bersama jika kenyataan itu terjadi. Azka memang belum bisa menerima kenyataan jika harus berjauhan dengan ayahnya itu.

Ada lagi kisah tentang Jack Wilshere mantan pemain timnas Inggris, Arsenal dan West Ham United yang berniat gantung sepatu dini. Di usianya ke 29 tahun Wilshere menginginkan pensiun dari dunia kulit bundar alasannya sederhana karena ia sering cedera sehingga tidak banyak club yang membutuhkan jasanya. Selain itu ia merasa diperlukan di tengah-tengah keluarga. Yang paling menyedihkan tentu ketika ia tahu salah satu anaknya mengalami perundungan oleh teman di sekolahnya. Barangkali ini adalah pengorbanan Wilshere yang harus ia pilih bahwa ada yang lebih penting dari sekadar sepakbola yaitu keluarga.

Kisah-kisah tersebut tentu bisa lebih banyak dijumpai di manapun termasuk pengorbanan orang tua untuk anaknya. Jadi sebenarnya siapa saja bisa menjadi pahlawan cuma spektrum dan kadarnya yang berbeda. Para atlet yang berjuang berkorban waktu, tenaga pikiran pun bisa dikategorikan pahlawan. Mereka gigih berlatih hanya demi mengharumkan nama Indonesia. Pun banyak lagi lainya tentang seorang guru yang harus rela menempuh perjalanan jauh demi anak-anak belajar dan sebagainya.

Tentu sikap pengorbanan tersebut tidak mudah dan tidak setiap orang memilikinya. Pasti sikap itu hadir karena didikan orang tua yang disiplin sejak awal. Tanpa kedisiplinan pengorbanan akan selalu bertendensi dengan materi. Maka perlulah pengorbanan dibikai dalam agama. Agar seseorang rela berkorban tanpa pamrih dan hanya Tuhan tujuan utama. Jika kita tertarik menjadi pahlawan berkorbanlah setidaknya untuk orang yang kita cintai.

the woks institute l rumah peradaban 27/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...