Langsung ke konten utama

Kemerdekaan yang Disalahartikan




Woks

Beberapa anak muda ketika kami tanya tentang arti kemerdekaan mereka menjawab dengan lantang, merdeka adalah bebas untuk melakukan segalanya. Kemerdekaan bagi mereka adalah perilaku semau gue tanpa gangguan dari orang lain. Puncaknya merdeka bagi mereka adalah hak untuk mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Orang lain tidak boleh ikut campur sedikit pun termasuk norma sosial dan agama.

Bagi saya arti kemerdekaan yang demikian adalah kebablasan. Alasan kemerdekaan tersebut tentu telah menyimpang dari rel yang selama ini telah diraih dan dipahami. Merdeka ketika dulu melawan penjajah berarti mampu keluar dari tekanan kesewenang-wenangan, ketidakadilan, diskriminasi, dan kebiadaban. Akan tetapi seiring berjalannya waktu merdeka bisa dimaknai dengan lebih luas. Merdeka memiliki arti yang dinamis dan tentunya berkualitas.

Bung Hatta misalnya mengatakan bahwa kemerdekaan bukan akhir justru itu adalah awal mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat. Senada dengan itu, Bung Karno pun menguatkan bahwa bangsa yang tidak percaya akan kekuatan dirinya tidak bisa disebut sebagai bangsa yang merdeka. Sehingga dari dua pendapat proklamator tersebut kita punya gambaran bahwa merdeka adalah sesuatu hal yang menyangkut jatidiri sesuai dengan karakter dan etika moral yang berlaku. Dalam arti lain kemerdekaan adalah idealisme yang terikat. Mengapa demikian? karena manusia tidak hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk menopang kemerdekaannya sebagai individu maupun kelompok.

Dalam Islam misalnya apakah dengan seseorang yang telah mencapai maqom tertentu sudah merdeka dari hukum dan kewajiban, nyatanya tidak. Kisah Syeikh Abdul Qadir Jaelani barangkali menjadi referensi yang mashur kita dengar. Yaitu ketika beliau berjalan di malam hari di padang pasir beliau mendengar suara ghaib yang mengatasnamakan utusan Tuhan untuk memberi kabar bahwa beliau sudah tidak wajib melaksanakan kewajiban salah satunya sholat. Lantas apakah Syeikh Abdul Qadir terlena, nyatanya tidak. Beliau sangat paham bahwa itu tipu daya syeitan. Karena sekalipun pada seorang Nabi ia tetap berkewajiban menjalankan syariatNya.

Merdeka adalah berpindahnya kondisi tertekan menuju kondisi yang lebih baik. Barangkali kemerdekaan adalah hadiah terindah untuk seseorang mengkristalkan cita-cita. Merdeka juga diartikan sebagai model karakter yang memiliki value. Nilai-nilai yang diaplikasikan seseorang dengan ditopang oleh pengetahuan. Nilai tersebut diyakini sebagai landasan berpikir agar manusia tetap rendah hati bahwa tidak ada kebenaran absolut. Selama seseorang melakukan sesuatu dan tidak menggangu hak orang lain maka selama itu ia bergerak merdeka.

Hal yang menarik dari kata merdeka yaitu melakukan sesuatu dengan sukarela, tanpa memiliki tendensi apapun kecuali kebaikan itu sendiri. Begitulah kiranya kemerdekaan telah dilukiskan oleh para pendahulu, para pahlawan yang rela menukar segalanya dengan tidak berpikir pamrih apalagi ingin pujian. Semua hal yang dilakukan tak lain demi masa depan cerah. Karena dengan merdeka berarti kita telah disediakan jembatan emas untuk melangkah ke depan.

the woks institute l rumah peradaban 19/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...