Langsung ke konten utama

Transendensi Menulis ala Prof. Mulyadhi Kartanegara




Woks

Mendengar nama Prof. Mulyadhi tentu tidak asing, Guru Besar UIN Jakarta tersebut memang sosok yang piawai menulis. Saya kadang berpikir apa semua guru besar berlaku demikian pandai menulis, memberi gagasan, cakap bicara, kaya pengetahuan dan lainya. Tapi sepertinya demikian guru besar memang beda dengan sekadar dosen biasa. Mereka selalu punya karakter istimewa dan pastinya punya jalan sunyinya tersendiri.

Sebagai seorang penulis tentu beliau mampu menulis yang ilmiah dan orisinil. Tulisan tersebut beliau mampu hasilkan dari mana saja termasuk saat mengajar pun bisa jadi bahan inspirasi. Tujuan beliau menulis tentu sederhana yaitu ingin mengabadikan hidup seperti Plato. Bisa dibayangkan Plato murid Socrates itu hidup sekitar 427 sebelum masehi tapi masih terasa hidup hingga kini karena ia menulis. Lewat tulisan itulah orang mengenal Plato walaupun manusianya telah tiada.

Salah satu tujuan menulis lainya yaitu menyampaikan kebenaran, menunjukkan jalan kehidupan dan menaklukkan waktu. Dengan menulis seseorang nampak mengamalkan sumpah Tuhan tentang pentingnya waktu. Artinya lewat menulis seseorang terkesan membuat waktu itu hidup dan berharga. Lewat menulis pula terdapat letusan kebahagiaan. Sehingga berapapun tulisan yang dihasilkan tak akan membuat jera seorang penulis justru nampak bahagia. Kita ingat Imam Muhammad Ibnu Jarir at Thabari yang menulis 40 halaman perhari.

Lantas bagaimana jika seseorang kesulitan dalam menulis. Rasanya tips dari beliau menarik untuk diaplikasikan yaitu menulis tanpa beban, menulis mengalir saja dan usahakan menulis dengan tangan. Karena menulis tangan antara pena tersebut terselip ikatan batin yang kuat sehingga tulisan akan mengalir deras. Saya juga selalu ingat Prof. Mujamil Qomar (Guru Besar UIN Tulungagung) pun memiliki tradisi menulis dengan tangan bahkan hampir karya buku beliau dihasilkan dengan guratan pena. Jangan lupa semangat dan konsistensi menulis juga tak kalah pentingnya.

Di abad pena apalagi ditambah digitalisasi yang masif seseorang sangat perlu untuk memiliki kemampuan menulis. Karena tulisan utamanya yang original berarti ada upaya seseorang menyusun pengetahuannya sendiri. Upaya tersebut harus ditunjang dengan memahami seni menulis seperti memperhatikan kepekaan grammar, gaya bahasa dan menyeimbangkan potensi intelektual. Dengan begu seseorang ikut rembug dalam mewarnai dunia lewat rangkaian pengetahuan yang ditulis.

Selanjutnya ini yang menarik bagi saya dari Prof. Mulyadhi yaitu transendensi menulis. Artinya seorang penulis ya menulis saja tanpa berorientasi apapun misalnya terkenal, best seller, profit oriented, royalti dll. Menulis tak lain sebagai self expression, passion yang menjadi kebahagiaan tersendiri apalagi sampai tulisan tersebut dibaca orang dan berdampak positif tentu sangat berbahagia bagi penulisnya. Transendensi menulis seharusnya dimaknai sebagai upaya penulis ikut berkontribusi dalam mengembangkan pengetahuan. Karena salah satu fungsi menulis adalah politik pembelaan terhadap pengetahuan yang diselewengkan. Maka dari itu menulis untuk meninggalkan jejak peradaban. Jika setiap orang memiliki mindset bermanfaat dengan tulisanya maka ia sudah tidak risih dengan pembajakan atau cercaan, menulis ya menulis saja Tuhan tau siapa yang benar. Dengan begini seseorang akan terus berpikir apa karya yang disuguhkan kepada dunia atas sebuah anugerah pengetahuan yang telah dititipkan, bukankah manusia eksis karena karyanya begitu kata Martin Heidegger.

the woks institute l rumah peradaban 8/8/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...