Langsung ke konten utama

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah




Woks

Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan.

Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya.

Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingung untuk memutuskan dan memilih sebuah nama. Jadi, tanaman itu pun disebut sebagai pare yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia sebagai padi. (Ilmatus Sa'diyah). Sedangkan orang Jawa menyebut padi dengan pari. Dewi Sri bagi orang Sunda sering disebut Nyai Pohaci Sanghiyang Asri atau orang Jawa menyebutnya Dewi Trisnawati atau Dewi Sri (catatan: dalam berbagai sumber kisah banyak perbedaan terutama tentang penamaan termasuk ragam cerita misalnya versi kerajaan Medang Kamulan dll).

Sebelum padi masuk ke lumbung, masyarakat kita tidak pernah alpa karena kebudayaan agraris ini memiliki corak yang padat akan nilai. Nilai filosofis misalnya selalu hadir dari pembibitan hingga panen bahkan sampai disantap. Padi dan petani memang tidak dapat dipisahkan dari berbagai ritual-ritual. Saat perayaan tiba orang Jawa akan melakukan mapag sri atau orang Sunda khususnya daerah Banten akan melakukan tradisi Seren Taun sedangkan mengikat padi yang nantinya akan digantung di daerah Bogor dikenal dengan tradisi Majikeun Pare.

Padi yang diikat lalu dibawa ke rumah untuk ditaruh di lumbung (pendaringan) atau di atap sekitar dapur merupakan cara untuk petani memilah mana yang nantinya akan jadi bahan pembibitan. Padi tersebut akan dikeluarkan ketika musim tanam tiba. Orang-orang melakukan hal itu tak lain karena padi adalah simbol kemakmuran dan kesuburan. Termasuk ketika seseorang membangun rumah ada sesaji di atas rumah ketika suhunan sudah naik ke atas. Biasanya salah satu sesaji yang ada di atap rumah tersebut yaitu berupa padi seikat, hal itu memiliki arti bahwa padi adalah pancer atau titik pusat. Titik pusat itu juga berarti makanan pokok yang selama ini telah akrab dengan masyarakat Nusantara khususnya Jawa.

Karena padi adalah pancer sebagai makanan pokok beberapa di antara kita sering beranekdot jika masih memiliki beras (makanan pokok) jika pun tak memiliki uang tak apa. Hal itu masih lebih beruntung sehingga beras atau padi ini justru lebih menentramkan. Berbeda jika hanya memiliki uang jika tak memiliki beras buat esok dimasak pasti uang tersebut ujungnya akan dibelikan bahan yang lebih pokok juga.

Padi yang digantung di rumah tersebut memiliki arti lain sebagai jimat alias bahan yang menjadikannya berkah. Kita ingat cerita Nusantara tentang Dewi Nawangwulan istri Jaka Tarub yang jelmaan bidadari tersebut. Kita tahu bahwa padi yang disisakan di dalam gentong atau tempat penyimpanan dapat lebih membuat keberkahan. Seolah-olah beras yang dikonsumsi tidak terasa begitu awet. Hal ini hanya sekadar memberi pesan kepada kita untuk tidak melupakan asal. Bahwa beras yang kita makan tentu berasal dari bulir padi yang setiap proses dari menanam hingga memanem banyak mengandung bahasa simbolik yang kaya makna. Lewat tulisan sederhana ini intinya kita terus berusaha menghormati petani sebagai kelompok penyangga tradisi, budaya, ekonomi dan peradaban. Jangan cuma karena ada nama Dewi Sri kita langsung mudah menyesatkan, jika tidak percaya dengan dewa mitologi setidaknya hormati saja petani yang tiap hari kerja memakmurkan bumi demi kenyangnya perut seluruh negeri.

Artikel ini diolah dari berbagai sumber
• the woks institute l rumah peradaban 16/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan