Langsung ke konten utama

Tradisi Surak Masyarakat Pantura




Woks

Keberadaan masyarakat Pantura tidak bisa dipisahkan dari lingkup sosial yang unik di pulau Jawa ini. Sebagai sebuah masyarakat pesisir mereka tentu memiliki akar kebudayaan yang panjang. Bahkan mereka pun tak kalah heroiknya dalam perjuangan menggapai Indonesia merdeka. Akan tetapi selama ini masyarakat Pantura pada umumnya dan terkhusus masyarakat ngapak ala Dermayon dan Cirebon masih terstigma kaum dengan bahasa yang kasar. Padahal selama ini rekam antropologis memang membedakan tradisi yang lahir dari pesisir, peradaban sungai, gunung, goa, dan kultur darat bagian dalam.

Sebenarnya akar kebudayaan di Jawa khususnya ialah satu pintu yaitu bermuara lewat leluhur yang dulunya dihuni masyarakat kerajaan yang sudah mengenal peradaban tinggi. Lalu datanglah Islam lewat islamisasi wali songo maka terjadilah akulturasi budaya yang kental. Kita ambil saja soal tradisi surak. Di tempat lain mungkin tradisi ini pun dikenal akan tetapi berbeda penamaan saja.

Surak atau dalam bahasa saya disebut "nggusur balak" atau melebur bala atau menolak bala. Tradisi ini secara umum merupakan ungkapan syukur atas berlimpahnya rezeki atau ingin berbagi. Surak juga merupakan sebuah cara orang-orang bersyukur lewat media nasi kuning yang dilengkapi dengan bunga dan uang bahkan ada juga permen dan jenis makanan kecil lainya. Di daerah Indramayu bagian barat misalnya kita masih menemukan tradisi surak berkembang dengan sangat perlahan. Karena bagian barat Indramayu mengalami asimilasi kebudayaan antara Jawa Ngapak dan Sunda maka penamaannya pun tak jauh berbeda hal itu telah berkembang sejak era Sunan Gunung Djati atau Syeikh Syarif Hidayatullah hingga saat ini. Masyarakat kita memang masih menyepakati bahasa tersebut dengan tanpa merubahnya. Intinya bahasa bisa saja berbeda tapi esensinya itu sama saja.

Kita lihat surak berkembang dalam acara nyekar atau tabur bunga pasca hari raya Idhul Fitri tiba. Orang gegap gempita dalam mengikuti tradisi ini. Surak juga bisa kita temui di acara Babaritan (Sunda) yaitu tradisi syukuran atas turunya hujan. Acara temoan dan acara kawulan yaitu tradisi surak untuk ungkapan syukur atas nadzar seseorang baik dalam acara khitanan atau pernikahan. Acara surak juga dapat dijumpai dalam acara mudun lemah atau tedak siten, ngiring penganten, penobatan kepala/ketua, acara sintren hingga sawer.

Di sini saya memang belum menemukan rekam jejak secara arkeologis antropologis tentang tradisi surak di masyarakat tersebut. Akan tetapi setidaknya kita bisa belajar lewat local wisdom tersebut bahwa banyak cara untuk seseorang bersyukur dan berbagi kepada sesama. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, asalnya tidak menyimpang dari syariat dalam bahasa agama maka tradisi tersebut harus terus dilestarikan.

the woks institute l rumah peradaban 15/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...