Langsung ke konten utama

Bergeraklah




Woks

"Ciri utama kehidupan adalah perubahan sedangkan untuk berubah kita perlu bergerak", begitulah penggalan pesan yang disampaikan Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag (Rektor IAIN Tulungagung) dalam kesempatan mengawali ramadhan. Apa yang disampaikan beliau banyak juga diafirmasi baik secara historis, sosiologis dan psikologis.

Secara historis orang-orang gesit bergerak akan lebih mudah menggapai apa yang diinginkan. Melalui pergerakanlah orang-orang bisa mengorganisir sebuah tujuan. Che Guevara misalnya ia menjadi tokoh besar di balik revolusi Kuba karena gerakan gerilyanya. Kita juga tahu saat itu Gus Dur, Megawati, Amien Rais, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan beberapa tokoh lain merupakan aktivis yang melahirkan gerakan reformasi. Secara sosiologis orang-orang yang bergerak selalu nampak menonjol daripada yang hanya diam menunggu. Sebuah gerakan memang harus dijemput bukan ditunggu.

Orang-orang yang rajin dianggap orang yang dapat mengalahkan orang pintar. Alasan sederhananya orang rajin bergerak secara konsisten dan selalu berprinsip mencari, tak pernah puas dan selalu belajar tak kenal lelah. Berbeda dengan orang yang hanya pintar dan mudah puas. Maka tidak salah jika siapa yang menganggap diri puas maka di situlah sejatinya yang ia dapatkan.

Pergerakan dalam diri memang harus dipupuk sejak dini karena jika tidak, tubuh hanya akan dikuasai rasa malas. Niat yang baik dan gigih seharusnya menjadi lokomotif penggerak kehidupan. Dengan begitu seseorang tidak akan pernah kehilangan arah alias disorientasi. Bergerak dengan niat yang selaras adalah kunci menaklukan kehidupan.

Secara psikologis orang-orang bergerak nampak lebih hidup dan enerjik. Mereka menghayati hidup dengan penuh optimis bahwa dunia itu dijemput bukan ditunggu. Bagaimana mungkin orang ingin pandai tapi malas membaca buku, tak mau ingin menulis, tak berkenan berteman dan lainya. Kepandaian yang instan memang ada disebut ilmu laduni tapi mengharap yang seribu satu itu juga belum tentu karena sejatinya ilmu itu pun masih terus dicari. Maka dari itu cita-cita, harapan atau angan-angan apapun diusahakanlah terlebih dahulu jika pun harus merasakan kerasnya kehidupan toh semua pasti ada jalanya.
Benar bahwa orang yang bergerak lebih dekat dengan optimisme sedangkan yang diam berpangku tangan lebih dekat dengan putus asa.

Bergerak adalah ciri masyarakat progresif yaitu mereka yang selalu memiliki target-target untuk digapai. Jika sehari target-target itu tidak bisa digapai maka mereka akan terus memburu target lain untuk dapat digenggam. Orang-orang tipe ini akan selalu hidup dan tak mau terdiam saat sekali saja diam tanpa pergerakan rasanya hidup begitu hampa. Hal ini percis seperti orang tua sepuh mereka memilih bekerja di hari tuanya cuma karena jika tidak kerja badan terasa pegal-pegal. Bergerak adalah cara agar mereka terus merasa hidup.

Saat ini kita sebagai apapun alangkah baiknya terus bergerak. Jika tak sempat berlari seperti orang-orang setidaknya kita berjalan perlahan atau bahkan merangkak sekalipun. Yang terpenting hidup ini ada pergerakan dengan demikian kita telah menjadi mitra Tuhan untuk memfungsikan seluruh anggota badan yang telah diamahkan itu. Ibarat para pendaki gunung jangan mau mati di atas kasur, tengoklah keluar bahwa alam ini sangatlah indah. Maka dari itu jika kita masih memiliki cita-cita yang ingin dicapai hidupkanlah semua itu dengan bergerak maju. Lihat masa lalu hanya sebagai cermin selebihnya masa depan telah menanti. Mari bergerak dan rebutlah dunia sebelum negara api menyerang.

the woks institute l rumah peradaban 20/4/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan