Langsung ke konten utama

Pod-Writes bersama M. Rizal Hasani MQ: Bermesraan Dengan Al Qur'an




Pod-writes kali ini akan membahas tentang dunia al Qur'an dan motivasinya dalam menghafal kalam illahi itu. Semoga kita dapat terus belajar dengan pusaka akhir zaman tersebut.

Jurnalis TWI: Menurut sampean huffadz itu faktor genetik atau bukan?

Mas Hasan: Ya ada yang faktor gen ada juga yang tidak. Kayak di dekat rumah saya ada yang orang tuanya hamilul qur'an terus anaknya juga penghafal qur'an. Tapi justru malah lebih banyak yang faktor mbabad alias dari dorongan diri sendiri. Mungkin saja orang karena faktor gen lebih kepada tanggungjawab jika tidak hafal qur'an rasanya gmana gtu. Jadi orang tua atau keturunan bisa jadi faktor inspirasi anak turunya untuk mengikuti jejak langkah tersebut.

Jurnalis TWI: Jika boleh tau apa sih tujuan sampean menghafal qur'an?

Mas Hasan: Ya awalnya karena nganggur. Di sana akhirnya saya memanfaatkan waktu untuk menghafal. Kalau orang lain kan punya kesibukan atau bahkan sok sibuk, nah maka saya hafalan, kan daripada nganggur mending menghafal al qur'an.

Jurnalis TWI: Apa benar makna MQ pada nama sampean karena ngefans sama Gus Muqorrobin?

Mas Hasan: Iya benar, orang tua saya berharap memiliki anak yang seperti Gus Muqorrobin bin Ahmad Rosyad. Tentu kita tahu siapa beliau yaitu santri hafidz angkatan pertama Jantiko Mantab Gus Miek yang suaranya khas.

Jurnalis TWI: Mengapa sampean memilih menghafal qur'an?

Mas Hasan: Ya mungkin karena hobi. Soalnya sejak kecil saya selalu sering senang dengan bacaan al qur'an bahkan sejak di TPQ saya selalu diikutkan lomba dalam hal kealqur'anan. Darisanalah saya punya modal untuk lebih dekat dengan al qur'an dan alhamdulillahnya saya punya modal suara dan bisa kuliah di jurusan Ilmu al Qur'an & Tafsir.

Jurnalis TWI: Saat memulai menghafal sampean pakai metode apa, kan sekarang banyak metode menghafal al qur'an?

Mas Hasan: Tidak pakai metode. Ya menghafal saja. Karena mungkin sudah punya tekad kuat jadi ya lanjut terus hafalanya.

Jurnalis TWI: Lantas adakah batasan minimal-maksimal dalam menghafal?

Mas Hasan: Setiap orang punya batasanya tersendiri. Kalau yang saya pahami orang menghafal itu disesuaikan dengan kemampuannya. Ada yang bisa menghafal 1 lembar, ada yang 2-4 halaman bahkan ada juga yang 1/4 juz tergantung tingkat kekuatan mengingat dan tekadnya.

Jurnalis TWI: Apa pendapat sampean terkait metode cepat menghafal al qur'an?

Mas Hasan: Saya sih kurang setuju. Karena setiap orang berbeda kemampuannya jadi ya tidak bisa dipaksakan untuk sama. Misalnya metode waktu 6 bulan khatam nah jika tidak dimurajaah itu ya bisa hilang. Soalnya dalam menghafal itu bisa saja rawan hilang apalagi dengan hanya target cepat khatam.

Jurnalis TWI: Pada prinsipnya murajaah dan menghafal itu seperti apa sih?

Mas Hasan: Ya intinya murajaah itu sangat penting dalam menghafal al qur'an. Misalnya untuk standar pemula atau orang yang baru khatam murajaah 10 juz setiap hari itu adalah keharusan karena murajaah itu agar hafalanya mutqin (kuat) dan itu terus diulang-ulang.

Sedangkan prinsip menghafal itu ya dari niat, tekad kuat, dari diri sendiri dan tak kalah pentingnya yaitu fokus. Jika kita tidak fokus maka bisa sangat sulit dalam menghafal, karena jika ada kesibukan lain maka hafalanya bisa rusak. Jadi lebih baik fokus saja insyaallah semua ada jalanya.

Ohh iya satu hal lagi bagi yang sudah khatam jangan lupa bahwa murajaah itu wajib sedangkan lancar atau tidaknya itu adalah anugerah dari Allah.

Jurnalis TWI: Apa pendapat sampean terkait sanad qur'an?

Mas Hasan: Wah itu sangat penting sekali agar kita tahu guru-guru kita, misalnya saya ngambil sanad dari Ning Bibah, Ustadz Khotib dan Ustadz Bastomi yang semuanya sanadnya bersambung ke masyayikh Pondok Krapyak. Jadi sanad itu penting sebagai pertanggungjawaban artinya kita menghafal bukan asal-asalan.

Jurnalis TWI: Kapan sih waktu yang tepat dalam hafalan?

Mas Hasan: Setiap orang punya waktu tersendiri ya. Akan tetapi jika merujuk ke tradisi shalafuna shalih waktu yang pas buat hafalan ya di 1/3 malam.

Jurnalis TWI: Apa dalam memulai menghafal kita perlu tawasul dan adakah keberkahan dalam menghafal?

Mas Hasan: Ya seperti halnya memulai mengaji kitab, tawasul juga perlu ya minimal kita hadiahkan fatihah buat guru-guru kita.

Keberkahanya kalau saya mungkin terkait waktu. Jadi dengan menghafal waktu saya semua tercurahkan buat al qur'an dan tidak terbuang sia-sia. Berkah yang lain seperti diundang khataman atau bahkan beasiswa itu hanya bagian dari bonus.

Jurnalis TWI: Adakah yang perlu kita ketahui tentang dunia huffadz al qur'an?

Mas Hasan: Mungkin soal istilah ya. Jadi perlu kita ketahui bahwa menghafal itu tidak jauh dari harus memperbaiki bacaan lewat ilmunya. Sering murajaah, nderes, bolan baleni agar hafalanya mutqin (kuat). Terus orang membawa/menghafal qur'an itu disebut hamilul qur'an sedangkan al-hafidz itu sebenarnya gelar bagi orang yang hafal 100.000 hadits beserta matan dan sanadnya. Huffadz (الخفاظ) itu kan jama' dari (الخافظ) yang artinya menjaga atau mengulang. Nah tapi di Indonesia sudah kadung populer hafidz, ya sudah jadi sampai sekarang.

Jurnalis TWI: Terakhir pesan atau tips bagi para penghafal qur'an terutama untuk kalangan pemula?

Mas Hasan: Ini pesan khusus buat saya dan umum bagi semua setidaknya ada 2 hal ndak usah banyak-banyak: pertama, benahi dulu niatnya. Karena niat itu sangat penting sekali, maka jangan sampai niat menghafal dikotori dengan niatan lainya. Menghafal qur'an jangan berniat cuma karena ingin mencari beasiswa. Kedua, niat dan tekadkanlah menghafal qur'an karena mahabbah ilallah wa rasulillah saw. Dalam sebuah riwayat saya pernah membaca bahwa nanti di akhir zaman banyak penghafal qur'an yang juga fasiq dan ini yang mengerikan.

the woks institute l rumah peradaban 5/4/21

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bocil FF Belajar Ziarah

Woko Utoro Beberapa hari lalu saya berkesempatan kembali untuk mengunjungi Maqbarah Tebuireng. Dari banyak pertemuan saya ziarah ke sana ada pemandangan berbeda kali ini. Saya melihat rombongan peziarah yang tak biasa yaitu anak-anak TK atau RA. Pemandangan indah itu membuat saya bergumam dalam hati, "Kalau ini mah bukan bocil kematian tapi bocil luar biasa, sholeh sholehah". Sebagai seorang sarjana kuburan (sarkub) dan pengamat ziarah tentu saya merasa senang dengan pemandangan tersebut. Entah bagaimana yang jelas para bocil berziarah adalah sesuatu yang unik. Jika selama ini dominasi peziarah adalah orang dewasa maka zairin bocil FF adalah angin segar khususnya bagi keberagamaan. Lebih lagi bagi jamiyyah NU yang selama ini setia dengan tradisi ziarah kubur. Saya melihat seperti ada trend baru terkhusus bagi peziarah di kalangan siswa sekolah. Jika santri di pesantren ziarah itu hal biasa. Tapi kini siswa sekolah pun turut andil dalam tradisi kirim doa dan ingat mati itu. Wa...

Pecinta Amatiran

Woko Utoro  Kiai M. Faizi pernah ditanya apa yang ingin beliau lakukan setelah memahami sastra. Kata beliau, "Saya ingin menjadi amatir". Bagi Kiai M. Faizi menjadi amatir berarti tidak akan disebut mahir. Orang amatir akan selalu dianggap masih belajar. Orang belajar bisa saja salah. Walaupun begitu salah dalam belajar akan disebut wajar. Berbeda lagi ketika orang disebut mampu alias mumpuni. Masyarakat menganggap jika orang ahli bahkan profesional haruslah perfect. Mereka selalu dianggap tak pernah salah. Dan memang sesuai dengan pikiran kebanyakan orang jika sempurna itu harus tanpa noda. Akibat stigma ahli dan profesional masyarakat berespektasi harus sempurna. Masyarakat lupa bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari celah. Dalam arti bahwa setiap orang bisa saja pernah salah. Soal ini tentu yang terbaru adalah kasus Gus Miftah. Kasus Gus Miftah dianggap menghina pedagang es teh karena umpatan gobloknya menjadi viral. Pertanyaan kita mengapa netizen selalu brutal dal...

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun...