Langsung ke konten utama

Kelakar Buku Diskursus Kerinduan




Woks

Suatu saat seorang teman bercerita. Ketika ia berkunjung ke sebuah warkop suasana nampak berbeda. Orang-orang hampir seisi warkop banyak yang memusatkan perhatian kepadanya. Untuk tidak disebut ge'er akhirnya temanku itu mencoba bersikap biasa.

Saat ia akan memesan kopi lantas secara spontan si kasir bertanya "mas rindu ki opo enek kursuse to?" Lalu temanku dengan tersipu malu mengatakan "enek bu, monggo kunjungi blog www.wokolicious.blogspot.com". Percakapan mereka ditutup dengan tertawa bersama.

Ternyata lewat media kaos bertuliskan "Diskursus Kerinduan" seseorang tergugah untuk bertanya. Kadang aku sendiri berpikir betapa istimewanya kata rindu sehingga bisa diperbincangkan. Rindu memang lebih purba dari kata yang lain. Tuhan memang maha asyik sehingga menitipkan kata rindu kepada hambanya. Seseorang yang terlampau jauh tak sempat bertemu bisa merasa terpanggil ingin bertemu karena rindu menyeruak kepermukaan. Tapi apakah ada orang yang mati rasa? mereka yang hampa dan sempit sehingga tak dapat mendeteksi kerinduanya berada. Mungkin saja hal itu terjadi karena objek kerinduanya telah tiada. Akan tetapi rindu bukan soal objek materiil tapi soal rasa yang mengendap dalam batin. Jika memang ada tipe manusia demikian apakah perlu ada tempat kursus orang agar dapat merindu?

Secara psikologis rindu memang salah satu dari kompleksitas rasa yang melekat pada diri. Perasaan itulah yang kadang membuat individu mengalami berbagai macam gejolak di antaranya sedih, emosi, tertawa, bersikap aneh, mimpi, hingga hilang nafsu makan. Lantas bagaimana agama memandang kerinduan tersebut agar tidak menyengsarakan. Setidaknya ada dua pandangan pertama, rindu itu fitrah sehingga kita tidak boleh menyalahkanya ketika rindu itu bersemi. Kita tinggal menyemainya terus, memupuk dan merawatnya dengan baik.

Kedua, rindu terbaik adalah rindu yang ditujukan kepada siapapun akan tetapi muaranya tetap merindu dan akrab dengan sang pencipta. Kerinduan kepada seseorang harus pula diakhiri dengan kita rindu akan kampung akhirat, tempat atau stasiun akhir kita melabuhkan kerinduan. Tapi bagaimana pun rindu itu abadi bahkan hingga terbawa mati. Lalu di akhir tulisan ini kadang saya berpikir apakah jika memang ada tempat kursus merindu itu disebut suluk? karena selama ini proses suluk atau mengikuti guru mursyid adalah dengan ditunjukanya (ارشاداستاد) kepada segala macam ilmu yang tujuannya taqorrub kepada Allah. Apakah demikian?

the woks institute l rumah peradaban 9/4/21


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kebudayaan Agraris Padi Digantung di Rumah

Woks Kebudayaan kita memang kaya baik budaya yang lahir dari peradaban pesisir, sungai ataupun petani. Kebudayaan agraris utamanya di Jawa dan Bali pasti tidak akan melupakan sosok Dwi Sri sebagai jelmaan atau simbol kesuburan. Nama ini selalu menjadi tokoh utama apalagi ketika musim tanam dan panen tiba. Dalam berbagai sumber termasuk cerita yang berkembang, orang-orang Jawa khususnya sangat menghormati tokoh Dwi Sri sebagai aktor lahirnya padi yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Ia juga dipercaya sebagai penunggu daerah gunung dan bumi begitu juga dengan Nyai Roro Kidul penguasa lautan. Salah satunya tradisi yang sering kita jumpai yaitu budaya menggantungkan padi di atas dapur, depan pintu rumah dan lumbung padi. Tradisi ini tentu sudah berkembang sejak lama. Entah apa motifnya yang jelas orang-orang tua dulu begitu menghormati dan tidak melupakan nilai-nilai kearifan yang ada di dalamnya. Dalam bahasa Sunda, padi dikenal dengan nama “paparelean’ karena kakek nenek sangat bingun

Bukber PKBM Pilar Papat Panggungrejo

Woko Utoro Dua hari sebelum hari raya saya diundang oleh Pak Toni yang tak lain merupakan founder PKBM Pilar Papat Panggungrejo. Kami kenal begitu singkat yaitu saat beliau narik ojek online Maxim. Ya, Pak Toni adalah driver Maxim sekaligus teman baru saya yang bertemu ketika mengantar teman sepulang dari rumah sakit. Singkat kisah Pak Toni bercerita seputar kegiatan pengelolaan pendidikan khusus anak berkebutuhan. Hingga akhirnya pertemuan kami berlanjut di warung kopi depan Bravo. Kami ngobrol ngalor ngidul hingga akhirnya sampai di tanggal 8 April saya diajak untuk hadir dalam acara metri atau launching PKBM Pilar Papat. PKBM Pilar Papat merupakan pusat kegiatan belajar menyenangkan yang didirikan Pak Toni bersama beberapa kawannya. PKBM Pilar Papat terletak di Desa Panggungrejo arah Karangduren menuju SMA 1 Tulungagung. Atau selatannya PP Al Istighotsah Panggungrejo. Menurut Pak Toni PKBM Pilar Papat tersebut didirikan atas kesadaran bahwa ada anak-anak yang butuh perhatian khusus.

Catatan Srawung Buku Anak Merdeka di Warkop Ngaji Ngopi

Woko Utoro Saya sangat senang ketika bergabung dalam acara Srawung Buku. Kebetulan saya bertindak sebagai penanggap buku. Sebuah tugas yang tentunya kali pertama ini saya kerjakan. Sebelumnya saya hanya sebagai moderator ataupun narasumber. Tapi ini menjadi pembelajaran buat saya kedepannya. Agar selalu siap dalam berbagai posisi.  Mba Fafa sebagai founder Komunitas Belajar Melati Sinebar sekaligus moderator acara Srawung Buku mengajak saya bersama narasumber lainnya dalam diskusi. Di antaranya penanggap buku pertama yaitu Mba Deni (Founder Komunitas Aku Bisa Menulis (ABM) dan tentunya penulis buku Anak Merdeka Mas Narno dan Mba Ulya.  Malam itu di warung Ngaji Ngopi kami pun berdiskusi begitu gayeng. Sampai-sampai waktu berlalu begitu cepat. Hingga akhirnya kami bicara seputar buku Anak Merdeka. Buku yang ditulis terutama ketika masa pandemi. Buku yang dalam hemat saya menarik dan perlu terus dikembangkan.  Buku Anak Merdeka berisi catatan pengasuhan anak yang memerdekakan. Pengasuhan